Penelitian ini selain berupaya mengetahui bagaimana manajemen redaksional suratkabar nasional Indonesia merekonstruksi kontroversi yang menyertai penyusunan RUU Penyiaran 2002 yang akhirnya disahkan oieh DPR RI pada akhir November 2002 lalu menjadi berita, juga berupaya untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi proses rekonstruksi tersebut. Seperti yang kita ketahui bersama proses penyusunan RUU Penyiaran 2002 yang sudah berlangsung selama hampir tiga tahun lamanya, diwarnai oleh suasana pro dan kontra. Berbagai demon masyarakat; baik dari kalangan praktisi penyiaran, akademisi, LSM, dan lembaga-lembaga lainnya berupaya untuk memberikan masukan kepada DPR guna menghasilkan draft RUU yang sekiranya dapat memuaskan semua pihak. Benturan-benturan pemikiran dari masing-masing lembaga kemasyarakatan tersebut inilah yang mengesankan proses penyusunan RUU yang akan segera menggantikan UU Penyiaran No. 2411997 penuh dengan warna-warni kontroversi. Namun yang jelas, sampai pada pengesahannya di akhir November tahun yang lalu, nuansa kontroversi ini tetap dapat dirasakan.
Kontroversi penyusunan RUU Penyiaran 2002 ini menjadi sangat menarik ketika terangkat menjadi berita di berbagai suratkabar. Keunikan terjadi bahwa pemberitaan prosesi RUU Penyiaran di suratkabar ternyata juga melibatkan pro dan kontra_ Pemberitaan di beberapa suratkabar ada yang menolak keberadaan RUU tersebut, namun tidak jarang pula yang memberikan dukungan. Di sinilah keunikan terjadi, realitas yang diliput adalah sama yakni proses penyusunan RUU Penyiaran 2002 yang diwarnai pro dari kontra, namun ketika muncul menjadi berita, yang satu menolak namun yang lain mendukung.
Deegan menggunakan pendekatan konstruktivisme, peneliti dapat memahami mengapa pemberitaan suratkabar seakan terlibat kontroversi ketika meliput realitas yang bersifat konflik. Dan menurut pendekatan ini pula, hal tersebut menjadi sah-sah saja mengingat institusi media bukanlah institusi yang hidup di ruang hampa, tanpa benturan sekian banyak kepentingan yang melingkupinya. Institusi media seperti halnya institusi suratkabar hidup bersama-sama bersama dengan dinamika institusi yang lain, seperti institusi politik, institusi ekonomi, dan institusi sosial budaya. Selain itu wartawan sebagai bagian panting dari institusi suratkabar pun, bukanlah individu yang pasif, yang hanya sekedar mem-fofocopy realitas yang terjadi menjadi berita. Namun ini merupakan individu yang aktif, yang dengan sedemikian banyak pertimbangan, turut berupaya merekonstruksi realitas yang terjadi untuk kemudian menjadi berita yang tersaji di hadapan kita.
Pada metodologi, penelitian di level teks media, yakni berita sebagai rekonstruksi realitas, peneliti menggunakan analisis framing model Robert N. Entman. Sedangkan untuk level konteks, yakni di level konteks manajemen redaksional dan konteks sosial budaya, peneliti mengadopsi metode Critical Discourse Analysis (CDA) milik Norman Fairclough. Di level teks media, dipilih beberapa berita seputar penyusunan (penundaan) dan pengesahan RUU Penyiaran 2002 pada bulan September dan akhir November tahun 2002. Sedangkan level manajemen redaksional, wawancara mendalam dilakukan pada staff redaksi dari masing-masing suratkabar. Lalu untuk level sosial budaya difokuskan seputar konteks ekonomi dan konteks politik yang melingkupi organisasi media dan dapat mempengaruhi proses kerja manajemen redaksional.
Hasil akhir penelitian menunjukkan bahwa Media Indonesia memiliki kecenderungan menolak keras RUU Penyiaran 2002, namun sebaliknya Jawa Pos terkesan memberi lampu hijau disahkannya RUU tersebut. Dart penelitian tekstual diketahtu bahwa keduanya memiliki strategi dan politik bahasa yang berbeda ketika merekontruksi kontroversi tersebut, lni dilakukan tentu dalam rangka menunjukkan sikap mereka terhadap fenomena RUU Penyiaran 2002, sekaligus upaya untuk meyakinkan pembaca masing-masing bahwa versi merekalah yang paling banal.. Sedangkan penelitian kontekstual, penelitian yang diarahkan pada manajemen redaksional di masing-masing suratkabar tersebut, menunjukkan adanya kebijakan yang memang berbeda berupa policy redaksional (di Media Indonesia) dan ideologi atau visi (di Javva Pos) dalam melakukan peliputan realitas konstroversi int. Kebijakan ini akhimya ?mampu memaksa" masing-masing manajemen redaksional tersebut untuk ikut terlibat melakukan peliputan dan penulisan berita menurut versinya sendiri-sendiri.
Walaupun tidak menjadi prioritas kajian; konteks ekonomi dan konteks politik yang melingkupi media ternyata berpengaruh pula bagi manajemen refaksional dalam merekonstruksi realitas. Kebijakan pemerintah selama Orde Baru yang lalu, walaupun di satu sisi merepresi kehidupan media, di sisi lain telah memberikan kesempatan bagi organisasi media untuk berkembang secara ekonomi. Ini memberikan kesempatan bagi organisasi media seperti halnya suratkabar (Media Indonesia dan Jawa Pos) berkembang sebagai bentuk industri baru, yang pada dasawarsa 1990-an mampu mengembangkan usaha baik vertikal maupun horizontal, Media Indonesia memiliki Metro TV dan Jawa Pos memiliki JTV. Keduanya memiliki kepentingan berbeda dalam hat RUU penyiaran 2002 ini. Akibatnya kedua suratkabar tersebut pun memiliki sikap yang berbeda pula ketika mereka merekonstruksi kontroversi RUU tersebut.