Gerakan moral Ahimsa lahir melalui sejarah yang panjang dan telah teruji melalui pelbagai peristiwa kekerasan, seperti penjajahan dan diskriminasi yang dialami sendiri oleh Gandhi, baik di Afrika Selatan hingga India. Untuk melawan segala bentuk kekerasan ini, Gandhi melempar sebuah gagasan revolusioner Satyagraha, yang berarti bertumpu penuh pada kebenaran Tuhan. Sementara cara untuk mempraktekkan Satyagraha adalah dengan tindakan tanpa kekerasan (non-violence). Ahimsa sendiri berarti tidak menyakiti, melukai, menyiksa atau membunuh. Tindakan tanpa kekerasan ini dilakukan tidak saja kepada manusia tetapi juga harus diberlakukan kepada alam dan seluruh makhluk hidup lainnya. Ahimsa juga tidak hanya dilakukan melalui tindakan, tetapi juga melalui perkataan dan pikiran. Kebenaran utama ini adalah dasar yang paling fundamental dari apa yang di sebut cinta kasih.
Ahimsa bukanlah sekadar tindakan pasif, tetapi Ahimsa juga aktif dilakukan untuk mendorong orang-orang jahat menjadi baik. Ahimsa juga bukanlah sebuah proses pembiaran merajalelanya kekerasan, tetapi secara aktif melakukan tindakantindakan melawan kekerasan melalui cara-cara yang manusiawi dan humanis, sebab ketika kekerasan hendak dilawan melalui kekerasan, maka sungguh-sungguh hanya akan melahirkan kekerasan baru. Karenanya Ahimsa menjadi pola alternatif dari beberapa pola menghadapi kekerasan yang dianut selama ini. Atau secara sederhana Ahimsa dapat menjadi alat bagi pemecahan konflik sosial dan sebagai anti-tesa terhadap kekerasan. Sementara obyek dari Ahimsa tidak hanya kepada pelaku atau aktor, tetapi lebih kepada upaya penentangan dan penghapusan struktur dan sistem yang dianggap menyimpang dari kebenaran, seperti kolonialisme, diskriminasi, hukum yang refresif, atau sistem yang korup. Itulah mengapa Gandhi tetap menghormati lawan-lawannya, musuhnya dan penjajah. Mungkin gerakan tanpa kekerasan terlalu idealistik., tetapi paling tidak, gerakan moral ini dapat dijadikan sebagai sikap dasar dalam menghadapi pelbagai bentuk tindakan kekerasan. Meskipun dalam konteks tertentu, Ahimsa boleh dibilang agak utopia.
Dalam perspektif filsafat, Ahimsa adalah salah satu bentuk dari kesadaran etis dalam hidup yang tidak hanya dilekatkan pada ajaran-ajaran moral dalam agama, tetapi lebih memadukannya dengan sifat rasional manusia, di mana setiap manusia sesungguhnya tidak menghendaki terjadinya kekerasan. Bahwa setiap orang ingin hidup dengan tanpa kekerasan, termasuk para penjahat. Ahimsa dengan demikian berusaha untuk mengangkat kembali apa yang hakiki dalam diri manusia, yaitu cinta kasih. Gandhi secara positif memandang hubungan antar manusia sebagai sebuah relasi, yang dalam ajaran Hindu di sebut Tat Tvam Asi (That Thou Art), meski kemudian pandangan seperti ini sangat rentan terhadap kritik, terutama dari kalangan eksistensialis. Jika Ahimsa dikaitkan dengan tinjauan Metafisika, maka Ahimsa mengemanasikan sebuah kajian tentang alam semesta (kosmologi), jiwa (psikologi) dan Tuhan (teologi). Sementara dari sudut Filsafat Antropologi, Gandhi secara positif pula lebih memandang jiwa sebagai sesuatu yang menduduki tempat lebih tinggi dari badan, tubuh, meskipun dalam hidup jiwa-badan adalah tunggal.