Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) telah berdiri sejak tahun 1945. Semenjak kelahirannya, PGRI senantiasa berusaha untuk memajukan, meningkatkan, dan memperjuangkan nasib guru Indonesia. Tujuan itu tercantum dalam Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) PGRI, tetapi sampai tahun 1998, permasalahan nasib guru belum memperoleh kejelasan. Undang-Undang Guru belum disusun dan ditetapkan.
PGRI sebagai organisasi profesional yang menjadi pelindung para guru dapat menjadi pos terdepan dalam memperjuangkan nasib guru. Dalam usahanya untuk memperjuangkan nasib guru, tidak selamanya PGRI memperoleh kesuksesan dan berjalan dengan lancar. PGRI mengalami pasang surut dalam memperjuangkan nasib guru Indonesia.
Berdasarkan kajian terhadap track record PGRI selama tahun 1945-1998, terdapat kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman yang menyebabkan PGRI mengalami pasang surut dalam memperjuangkan nasib guru Indonesia. PGRI yang dianggap sebagai organisasi para birokrat dibidang pendidikan sebenarnya dapat menjadi strenght (kekuatan) bagi PGRI untuk memperjuangkan nasib guru Indonesia dengan dikeluarkan kebijakan-kebijakan yang menyangkut kesejahteraan guru. Namun duduknya para birokrat dalam PGRI dapat juga menjadi weakness (kelemahan) PGRI dalam memperjuangkan nasib guru, karena para birokrat akan lebih terfokus pengabdiannya pada pemerintah daripada organisasi (PGRI). Jika mengandalkan pada keanggotaan PGRI yang mencapai 1,4 juta jiwa, keanggotaan PGRI dapat menjadi kekuatan dan peluang (opportunity) secara intern (organisasi) untuk meningkatkan kesejahteraan guru. Caranya dengan mengelola potensi yang ada dalam diri anggota dan iuran keanggotaan yang terkumpul dapat dijadikan modal usaha yang keuntungannya dapat diberikan kepada anggota. Peluang lain, masuknya PGRI dalam organisasi serikat sekerja membuka PGRI untuk lebih berani menuntut perbaikan nasib buruh termasuk guru di dalamnya. Begitu juga dengan lembaga pendidikan (sekolah-sekolah dari Tk - PT) yang telah dirintis oleh PGRI, hasil penyelenggaraannya dapat menjadi faktor pendukung untuk membantu kesejahteraan guru. Sementara itu, PGRI yang selalu mengikuti arus pemerintahan dengan menjadi organisasi pendukung dari pemerintah yang berkuasa, seperti Orde Lama dengan Nasakom-nya yang memunculkan PGRI Non-vaksentral dan Orde Baru dengan Golkarnya, akan memberikan image (citra) buruk dan ketidakpercayaan anggota terhadap PGRI. Hal itu terbukti ketika terjadi Reformasi pada tahun 1998, telah bermunculan organisasi guru di luar PGRI. Kehadiran mereka, seperti Forum Aksi Guru Indonesia (FAGI), Kesatuan Aksi Guru Indonesia (KAGI), Federasi Guru Independen Indonesia (FGII), dan Kesatuan Dosen dan Guru Swasta Seluruh Indonesia (KDGSSI), tidak menutup kemungkinan dapat menjadi threat (ancaman) atas keberadaan PGRI yang tidak tegas dalam memperjuangkan nasib guru Indonesia.
Adanya kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman yang ada pada diri PGRI tersebut membuat perjuangan PGRI mengalami pasang surut dalam memperjuangkan nasib guru Indonesia.