Studi sosiologis terhadap fenomena penegakan hukum meniscayakan penelaahannya pada faktor perilaku manusia, hal yang membedakannya dengan studi-studi yuridis-normatif. Pilihan inilah yang berupaya dikembangkan dalam mengkaji topik penegakan hukum di lembaga peradilan ini, khususnya dalam perkara korupsi. Berdasarkan studi yang dilakukan, tingginya persentasi putusan hakim yang menguntungkan terdakwa kasus korupsi bila diverifikasikan pada asal-usul sosial, pendidikan profesional, dan pergaulannya, ditemukan potensi sikap hakim yang mendukungnya untuk lebih empatik terhadap kelompok orang terpandang. Selain itu, hakim juga memiliki kecenderungan bersikap legalistis dalam menilai suatu perkara. Ketika situasi kepribadian ini dihadapkan dengan perkara korupsi yang mendudukkan orang-orang dari lapisan terpandang secara sosial-ekonomi bahkan politik sebagai terdakwa, menghasilkan suatu corak putusan yang cenderung menguntungkan posisi terdakwa tadi, yakni pembebasan dan pemidanaan tanpa perintah penahanan. Pembebasan mencerminkan sikap legalistis hakim dalam menilai suatu perkara. Salah satu alasan yang sering diungkapkan dalam konteks ini adalah fakta-fakta di persidangan belum cukup membuktikan terdakwa bersalah. Dengan demikian, terdakwa pun dibebaskan demi hukum. Sedangkan pemidanaan tanpa perintah penahanan mencerminkan sikap empatik hakim yang dikokohkan dengan sikap legalistiknya. Empatik, karena hakim dinilai cenderung tidak melihat dimensi lain si terpidana yang secara sosiologis adalah orang yang kuat, baik secara sosial, ekonomi, bahkan politik. Dari sisi ini, terpidana berpotensi besar untuk melepaskan diri dari jerat hukum dengan memanfatkan kekuatan-kekuatan yang ada pada dirinya tersebut. Dalam beberapa kasus korupsi yang ditangani pengadilan terdapat terpidana yang melarikan diri ke luar negeri meski sudah dilakukan pencekalan terhadapnya. Legalistik, karena pemidanaan dengan perintah penahanan memang tidak ada aturan yang secara imperatif mengharuskan pencantumannya dalam diktum putusan. Dengan pola putusan hakim yang cenderung menguntungkan posisi terdakwa korupsi tersebut ditambah lagi dengan kesan sebaliknya bila suatu kasus melibatkan terdakwa yang berasal dari "wong cilik", bisa berdampak pada kelamnya citra penegakan hukum di pengadilan di mata masyarakat luas.