Dua permasalahan utama yang yang menjadi pokok penelitian Tesis ini adalah sebagai berikut: Pertama, bagaimana perubahan sikap politik TNI dari kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid ke Megawati Soekarnoputri? Kedua, bagaimana perubahan dukungan TNI dari kepemimpinan Wahid ke sikap politik TNI yang resisten terhadap kebijakan Wahid?
Untuk menjawab kedua permasalahan tersebut, digunakan jenis penelitian eksplanatif-analitis. Metode penelitian eksplanatif-analitis digunakan untuk menjelaskan bagaimana perubahan sikap politik TNI terhadap pemerintahan pasca Orde Baru; Abdurrahman Wahid dan Megawati, serta bagaimana perubahan dukungan TNI dari kepemimpinan Wahid ke sikap politik TNI yang resisten terhadap kebijakan Wahid? Sedangkan pendekatan penelitian analisis kualitatif digunakan untuk memperoleh gambaran secara menyeluruh tentang aspek-aspek yang hendak diteliti. Sedangkan model analisisnya menggunakan tiga faktor-faktor yang masing-masing memberikan pengaruh bagi penyikapan TNI terhadap pemerintahan yang berkuasa. Model analisis ini akan memberikan gambaran bagi penulis untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkenaan dengan topik penelitian.
Sementara itu, untuk dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas digunakan beberapa teori antara lain; Pertama, teori transisi demokrasi yang dikemukakan oleh Huntington, dimana ia menyorot tentang faktor-faktor dan kemungkinan suatu negara transisi demokrasi kembali menjadi otoriter karena keterlibatan dan interupsi militer. Kedua, teori militer di dunia ketiga dari Morris Janowitz yang mengklasifikasikan hubungan sipil-militer di dunia ketiga dalam lima model. Ketiga, Finer melihat faktor internal militer berupa kepentingan militer yang menjadi penyebab terjadinya intervensi, serta ketidakmampuan sipil dalam mengendalikan pemerintahan. Keempat, sikap politik militer dapat dilihat dari pendapat Homans. Homans melihat bahwa sikap politik TNI dapat dilihat dari asumsi ekonorni. Kelima, kontrol sipil atas militer dapat dijelaskan dengan teorinya Huntington, yang melihat hubungan sipil-militer dari aspek sejauh mana kontrol sipil terhadap iniliter dilakukan_ serta sejauhmana otoritas sipil mengakui wewenang yang dimiliki militer. Menumt huntington, kontrol obyektif adalah pengakuan otonomi profesional militer, sedangkan kontrol subyektif adalah bentuk lain dari pengingkaran independensi profesionalitas militer.
Dari hasil penelitian tersebut ditemukan beberapa hal yang menyangkut tentang sikap politik TNI dan perubahan sikap politik TNI dalam melihat kepemimpinan sipil. Pertama, bahwa perubahan dukungan politik TNI dari Pemerintahan Presiden Abdurralnnan Wahid tidak serta merta mengeras hanya karena kebijakan Wahid semata, melainkan juga dipicu oleh konflik antara eksekutif dengan anggota parlemen; Poros Tengah dan Partai Golkar. Poros Tengah merupakan aliansi longgar partai-partai berideologi Islam yang pada Sidang Umum MPR 1999 lalu mengusung Wahid ke kursi kepresidenan. Kedua, rencana dan ancaman pengadilan kejahatan kemanusiaan oleh Pemerintahan Presiden Wahid, yang dimulai dengan mencopot Wiranto dari jabatan Menkopolkam. Ketiga, pengurangan hak istimewa kepada TNI. langkah ini memang sejalan dengan komitmen masyarakat dan kalangani politisi untuk mengurangi jumlah anggota parlemen dari Fraksi TNI/Polri dari 75 orang menjadi hanya 38 orang saja. Keempat, melemahnya unsur TNI pada masa Pemerintrahan Presiden Abdurrahman Wahid, hal ini dapat dilihat pada perubahan faksi di TNI, yang sebelumnya dikenal adanya TNI Merah Putih dan TNI Hijau, namun pada perjalanan waktunya, faksi TNI berubah menjadi faksi TNI Reformis dengan faksi TNI Konservatif. Kelima, intervensi yang terlalu dalam oleh Wahid ke internal TNI. keenam, diterbitkannya Dekrit Presiden oleh Wahid. Sedangkan dukungan politik TNI kepada Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri disebabkan antara lain: Pertama, arus politik yang berjalan menuju pergantian kepemimpinan dari Pemerintahan Wahid ke Megawati Soekamoputri secara konstitusional. Kedua, Adanya kesepakatan politik antara unsur di TNI dengan kubu Megawati Soekarnoputri. Ketiga, kedekatan beberapa perwira TNI dengan Megawati. Keempat, kebijakan Pemerintahan Presiden Megawati dinilai akomodatif terhadap TNI. Kelima, kesamaan Platform antara TNI dengan PDI Perjuangan untuk terus menjaga eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dari temuan yang didapat, maka dapat dilihat bahwa perubahan sikap politik TNI dari mendukung Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, kemudian menarik dukungannya, serta beralih mendukung Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri bersifat tidak drastis, dan tidak berdiri sendiri melainkan TNI melihat dan menunggu perkembangan konflik kepentingan di antara politisi sipil di parlemen dan eksekutif. Sehingga ketika angin politik lebih mengarah pada satu kubu politik yang memiliki dukungan lebih besar, TNI mengikuti arus besar politik tersebut. Hal ini tentu saja menjawab pertanyaan bahwa keinampuan TNI untuk melakukan bargaining position terhadap pemerintahan sipil dapat dikatakan lemah. Sehingga, upaya pembangkangan TNI terhadap paemerintahan sipil lebih banyak karana terprovokasi oleh perseteruan elit sipil yang berada di parlemen dan di eksekutif dari pada penolakan secara terbuka oleh TNI.