UI - Tesis Membership :: Kembali

UI - Tesis Membership :: Kembali

Disabilitas, kesakitan, dan status gizi penduduk Indonesia : analisis Data Sakerti/IFLS 1993

Lilis Heri Mis Cicih; Hadi Sumarno, supervisor; Meiwita Paulina Budiharsana, supervisor; Soewarta Kosen, examiner ([Publisher not identified] , 1999)

 Abstrak

ABSTRAK
Kualitas Sumberdaya Manusia (SDM) merupakan masalah pembangunan yang penting. Pembinaan SDM seharusnya berawal sejak dalam kandungan dan berkesinambungan sampai usia lanjut. Indikator status kesehatan yang konvensional terdiri dari tingkat kesakitan, status gizi dan tingkat kematian. Upaya meningkatkan kesehatan dapat diidentikan dengan upaya penurunan resiko sakit dan peningkatan status gizi. Penduduk yang sehat memberikan sumbangan positif terhadap laju pembangunan. Profil kesehatan diperlukan untuk estimasi prevalensi penyakit kronik dan tingkat ketidak mampuan (disability} sejalan dengan lanjutnya usia penduduk. Penyajian informasi status kesehatan (disabilitas, tingkat kesakitan dan status gizi) penduduk Indonesia, serta upaya pencarian pengobatan (rawat jalan, rawat inap, dan pengobatan sendiri) merupakan tujuan studi ini.
Pengukuran status disabilitas, kesakitan dan status gizi penduduk sebagai tolak ukur status kesehatan penduduk secara umum belum banyak ditelaah di Indonesia. Status disabilitas sebagai salah satu ukuran langsung dari kualitas hidup dan tingkat kemandirian juga penduduk masih belum banyak dianalisis.
Studi ini merupakan suatu studi pendahuluan yang lebih banyak ditujukan untuk mengeksplorasi data untuk kepentingan analisis lebih lanjut. Hal ini terutama berkaitan dengan data hasil suatu survei yang relatif baru sehingga belum banyak yang menganalisisnya. Data yang digunakan dalam studi ini adalah data hasil survei rumah tangga SAKERTI/IFLS 1993. Survei tersebut memuat informasi yang sangat luas, karena mencakup banyak aspek kehidupan rumah tangga, seperti kesehatan, kelangsungan hidup bayi dan anak, pendidikan, migrasi, ketenagakerjaan, kelahiran, keluarga berencana, sosial dan ekonomi. Banyaknya cakupan data tersebut mungkin dianggap sebagai keunggulan dari survei tersebut, namun sekaligus merupakan kekurangan dari survei tersebut. Misalnya dalam proses pengolahan data masih banyak ditemukan kesulitan-kesulitan baik menyangkut manajemen data maupun kualitas datanya.
Aspek utama dalam survei SAKERTI 1993 adalah kesehatan, sehingga dalam proses eksplorasi data tersebut ditekankan pada aspek kesehatan. Secara umum tujuan dari studi ini adalah untuk memperoleh gambaran status disabilitas, status kesakitan dan status gizi penduduk. Tujuan studi secara khsusus adalah menyajikan (1) status disabilitas, status kesakitan dan status gizi penduduk, (2) upaya pencarian pengobatan (rawat jalan, rawat inap dan pengobatan sendiri) menurut gambaran karakteristik sosial, ekonomi dan demografi.
Hasil studi ini diharapkan: (1) dapat menambah dan melengkapi pustaka di bidang kependudukan dan kesehatan, (2) menambah dan melengkapi pustaka mengenai cara pengolahan data SAKERTIIIFLS yang dapat direplikasi oleh peneliti lain di masa yang akan datang, dan (3) menyajikan gambaran status disabilitas, status kesakitan, dan status gizi (pra krisis ekonomi tahun 1997) yang berguna sebagai pembanding dalam perencanaan selama atau masa pasca krisis yang akan datang.
Responden dalam studi ini adalah individu semua kelompok umur yang dibagi menjadi kelompok usia kurang dari 15 tahun dan usia 15 tahun ke atas sesuai data yang tersedia. Informasi diperoleh dari 7 (tujuh) buku kuesioner yang terdiri dari buku 1 (daftar ART), buku II (ekonomi RI), buku III (informasi orang dewasa), buku IV (informasi wanita pemah kawin), buku V (informasi anak), buku K (kontrol), dan buku CA (antropometri)
Berbagai informasi karakteristik sosial, ekonomi dan demografi yang dapat digali dari data tersebut meliputi umur (yang dibagi menjadi kelompok umur 5 tahunan kecuali bayi), tempat tinggal (kota dan desa), pendidikan yang ditamatkan (tidak sekolah, tidak tamat SD, tamat SD, dan SLTP+), pendapatan per kapita (25 % pertama, 25 % kedua, 25 % ketiga dan 25 % tertinggi), serta jenis kelamin (laki-laki dan perempuan). Khusus pembagian pendapatan per kapita, kategori yang digunakan dalam studi ini agak berbeda dengan kategori yang umum digunakan oleh ekonom yaitu dibagi lima kategori (20 % pertama sampai 20 % tertinggi). Kriteria yang digunakan dalam studi ini didasarkan pada sebaran nilai pengeluaran per kapita per bulan dari yang terkecil sampai terbesar.
lnformasi kesehatan dicerminkan oleh status disabilitas, status kesakitan, status gizi dan upaya pencarian pengobatan (rawat jalan, rawat inap dan pengobatan sendiri). Status disabilitas dicerminkan oleh ADL (Activities of Daily Living) yang terdiri dari variabel keterbatasan fisik (mendasar dan lebih lanjut) dengan kategori tidak sehat (tidak dapat atau susah payah) dan sehat (mudah) melakukan kegiatan sehari-hari. Selain itu juga gejala psikis dengan kategori tidak sehat (sering atau kadang-kadang) dan sehat (tidak pernah) mengalami gejala psikis sejak empat minggu sebelum wawancara.
Gejala akut beberapa penyakit umum yang pernah dialami penduduk dalam periode empat minggu sebelum wawancara, terdiri dari gejala sakit mata, sakit gigi, sakit mencret, dan sakit kulit. Keempat gejala ini dipilih karena sesuai dengan nama organ, sehingga lebih mudah untuk mendeteksi jenis penyakit.
Status gizi diukur dengan cara antropometri berdasarkan data yang tersedia yaitu umur, berat badan dan tinggi badan. Penentuan status gizi untuk usia kurang dari 15 tahun didasarkan pada rujukan WHO-NCHS dengan z-score yang dibagi menjadi 2 (dua) kategori buruk/kurang (<-2 sd) dan baik (>= -2 sd). Sedangkan untuk usia 15 tahun ke atas penentuan status gin berdasarkan pada Indeks Masa Tubuh (BMI=Body Mass Index) dengan kategori kurus (IMT < 18.5), normal (18.5 < IMT< 25.0) dan gemuk (IMT>25.0).
Upaya pencarian pengobatan sendiri merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh masyarakat dalam mengobati keluhan kesehatan dengan cara mengobati sendiri tanpa bantuan tenaga kesehatan (seperti dokter, mantri dan bidan). Jenis pengobatan sendiri dilakukan yaitu dengan cara minum obat modern, minum jamu atau obat tradisional, dan memakai obat luar. Sedangkan jenis upaya pencarianpengobatan yang dilakukan dengan cara memeriksakan langsung ke petugas kesehatan baik untuk rawat jalan maupun rawat inap. Berbagai fasilitas kesehatan rawat jalan yang ditanyakan meliputi Rumah Sakit Pemerintah, Puskesmas, Puskesmas Pembantu, Posyandu, Rumah Sakit Swasta, Poliklinik(klinik swasta/BP/KIA), Dokter Praktek, Paramedis (perawat/bidan praktek), dan Praktek Tradisional. Selanjutnya fasilitas rawat inap terdiri dari Rumah Sakit Pemerintah, Puskesmas, Rumah Sakit Swasta dan Klinik Swasta.
Analisis data dilakukan dengan menyajikan tabel frekuensi dan tabel silang berdimensi dua atau tiga. Tabel-tabel tersebut menyajikan gambaran status disabilitas, status kesakitan, dan status gizi serta upaya pencarian pengobatan (rawat jalan, rawat inap dan pengobatan sendiri) menurut karakteristik sosial ekonomi dan demografi (umur, tempat tinggal, pendidikan, dan pendapatan). Selain itu analisis dilakukan dengan menyajikan grafik berdimensi dua melalui metode biplot. Berdasarkan metode ini dapat disajikan gambaran keragaman masing-masing variabel dan korelasi antar variabel, posisi masing-masing objek yang diamati dalam plot yang terpisah, serta mampu memberikan gambaran posisi dari objek-objek yang diamati relatif terhadap variabel-variabel keseluruhan dalam satu plot (biplot). Selain itu, menyajikan secara simultan hubungan antara karakteristik sosial ekonomi dan demografi dengan status disabilitas, kesakitan, status gizi serta upaya pencarian pengobatan (sendiri, rawat jalan dan rawat inap).
Hasil studi ini menggambarkan kondisi disabilitas, kesakitan, status gizi, dan upaya pencarian pengobatan (rawat jalan, rawat inap dan pengobatan sendiri) penduduk pra krisis ekonomi 1997. Secara umum status disabilitas, dan status gizi penduduk tergolong baik, namun dari studi ini diperoleh kelompok penduduk yang tergolong rawan yang perlu mendapat perhatian. Menurut kelompok umur, yang tergolong rawan meliputi usia bayi atau balita dan usia lanjut usia (60 tahun ke atas). Kelompok ini merupakan kelompok penduduk dewasa yang paling tinggi tidak dapat melakukan kegiatan fisik (mendasar dan lebih lanjut) dan mengalami gejala psikis, paling banyak penduduk dewasa yang kurus, paling tinggi mengalami gejala penyakit dan paling tinggi melakukan pencarian pengobatan (rawat jalan, rawat inap dan pengobatan sendiri).
Sedangkan menurut karakteristik sosial, ekonomi dan demografi: penduduk dewasa yang paling banyak tidak dapat melakukan kegiatan fisik (mendasar dan lebih lanjut) sehari-hari, penduduk yang paling banyak mengalami gejala penyakit, anak-anak paling banyak berstatus gizi buruk/kurang, penduduk dewasa paling banyak yang kurus, serta penduduk yang paling sedikit melakukan upaya pencarian pengobatan (rawat jalan, rawat inap dan pengobatan sendiri) adalah yang tinggal di pedesaan, orang tua dan penduduk dewasa yang berpendidikan tidak sekolah dan tidak tamat SD, serta pendapatan pada tingkat pendapatan 25 persen pertama sampai 25 % kedua (sampai Rp 51.615).
Studi ini juga menunjukkan kecenderungan minum jamu atau obat tradisional (terutama untuk usia kurang dari 15 tahun) meningkat seiring dengan naiknya tingkat pendapatan. Meskipun secara umum persentase minum jamu atau obat tradisional masih rendah dibanding minum obat modern, namun biaya yang dikeluarkan untuk minum jamu atau obat tradisional paling tinggi. Pada masa krisis ekonomi, penggunaan obat tradisional sedang diupayakan ditingkatkan pemakaiannya, mengingat biaya obat modern sangat melambung tinggi.
Dalam rangka peningkatan penggunaan obat tradisional, disarankan untuk melakukan penelitian-penelitian (uji klinis) terhadap jenis obat-obat tradisional yang sering dipergunakan masyarakat, serta perlu memantapkan "khasiat" dari obat tradisional tersebut. Selain itu, perlu ada jaminan keamanan pada masyarakat sebagai pemakai sehingga dapat memberikan kepercayaan pada masyarakat dalam menggunakannya.
Hasil studi ini kemungkinan dapat digunakan sebagai bahan informasi untuk penentuan sasaran program perbaikan gizi dan peningkatan kesehatan masyarakat. Sasaran program harus ditentukan dengan sebaik-baiknya terutama pada masa krisis ekonomi, karena dapat menentukan berhasil tidaknya suatu program. Penentuan sasaran program sangat sulit, sehingga diperlukan data-data yang menunjang yang menggambarkan kondisi masyarakat setempat. Seiring dengan rencana desentralisasi, maka penggunaan informasi seperti informasi yang diperoleh dari data SAKERTI/IFLS 1993 diharapkan dapat membantu perubahan perencanaan kebijakan program kesehatan. Informasi yang dapat digunakan terutama yang berhubungan dengan status disabilitas, status kesakitan, status gizi, upaya pencarian pengobatan (rawat jalan, rawat inap dan pengobatan sendiri) sebagai cerminan untuk perencanaan selanjutnya.
Berkaitan sasaran program, maka penduduk yang tergolong rawan perlu mendapat perhatian, dan mendapat prioritas dalam upaya perbaikan gizi dan peningkatan kesehatan terutama pada masa krisis ekonomi. Dikhawatirkan dengan adanya krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 dan dampak kekeringan/kemarau panjang serta kekurangan pangan di beberapa tempat akan menimbulkan dampak lebih buruk terhadap status kesehatan dan gizi kelompok rawan tersebut pada masa krisis.
Berdasarkan status disabilitas, status kesakitan, dan status gizi kelompok usia 60 tahun ke atas merupakan paling tinggi persentase yang tergolong tidak dapat melakukan kegiatan fisik (mendasar dan fisik lebih lanjut} sehari-hari dan Bering mengalami gejala psikis sejak empat minggu sebelum wawancara. Keluhan gejala penyakit yang cendenmg paling banyak dialami kelompok ini adalah sakit mata dan sakit kulit. Berdasarkan IMT, mereka merupakan persentase tertinggi kategori kurus. Kelompok usia ini hanya sekitar 10.4 persen dari seluruh sampel dalam studi ini. Namun jika dilihat dan hasil proyeksi penduduk Indonesia, dari tahun 1995-2025 proporsi penduduk lanjut usia akan meningkat menjadi 13,2 persen (Lembaga Demografi FEUI, 1994). Negara yang mempunyai penduduk lanjut usia di atas 10 persen akan menghadapi masalah sosial, ekonomi, dan psikologis kelompok lanjut usia (Wirosuhardjo, 1994). Oleh karena itu, pemeliharaan kesehatan kelompok ini perlu mendapat perhatian supaya mereka masih tetap produktif, sehingga tidak menimbulkan masalah sosial dan ekonomi.
Berkaitan dengan kelompok lanjut usia ini, beberapa saran yang mungkin dapat dijadikan masukan bagi pemerinaah khususnya Departemen Kesehatan dalam upaya meningkatkan pemerataan kesehatan masyarakat kelompok tersebut. Upaya kesehatan yang dapat dilakukan untuk kelompok ini antara lain dengan memberikan pelayanan kesehatan menyeluruh secara gratis, pemberian makanan yang bergizi sesuai dengan kebutuhannya, dan pemberian konseling di tempat pelayanan kesehatan atau di puskesmas secara gratis. Hal lain yang panting adalah pemberitahuan kepada kelompok tersebut bahwa mereka dapat menggunakan fasilitas kesehatan dengan gratis, karena adanya fasilitas tanpa diiringi dengan pengetahuan dari sasaran kemungkinan akan tidak tercapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan atau dapat dikatakan salah sasaran.
Kelompok lain yang perlu mendapat perhatian adalah anak usia bawah lima tahun (balita), karena paling tinggi mengalami gejala penyakit terutama sakit mencret, status gizi buruk/kurang sekitar 23 persen (menurut BBIU), dan paling tinggi persentase yang memerlukan rawat jalan dan rawat inap. Gejala sakit mencret pada kelompok tersebut cenderung paling banyak dialami oleh anak yang ibunya tidak sekolah. Kelompok ini merupakan salah satu kelompok yang sering dibicarakan pada masa krisis, dengan seringnya pemberitaan mengenai kasus terjadinya gizi buruk di beberapa wilayah. Sebenarnya mungkin prevalensi gizi buruk/kurang yang kronis sudah terjadi sejak sebelum krisis, namun tidak secara transparan terlihat. Dan hasil studi ini tampak bahwa status gizi buruk/kurang terutama anak laid-iaki usia kurang dari 15 tahun menurut berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) sekitar 58.7 persen, 53.2 persen (TBIU), dan 57,4 persen menurut BBIU. Apabila kelompok ini tidak ditangani dengan serius, maka kemungkinan akan terjadi lost generation, karena kelompok ini adalah generasi penerus yang akan meneruskan dan mengisi pembangunan di masa yang akan datang. Dengan demikian kualitas sumberdaya manusianya harus ditingkatkan sedini mungkin.
Kelompok bayi atau balita pada studi ini dapat dikatakan merupakan salah satu sasaran yang ingin dicapai dalam program perbaikan kesehatan dan peningkatan gizi masyarakat pada masa krisis. Sedangkan kelompok sasaran lain adalah: (1).untuk pelayanan kesehatan dasar meliputi seluruh keluarga miskin, yaitu keluarga dengan kriteria Pra-Sejahtera dan Sejahtera-I (karena alasan ekonomi) serta keluarga miskin lain yang ditetapkan oleh Tim Desa, (2) untuk pelayanan kebidanan dan rujukannya: seluruh ibu hamil, ibu bersalin, dan ibu nifas (dengan bayi neonatalnya) dari keluarga miskin seperti butir 1, (3) untuk pemberian makanan tambahan: ibu hamil dan ibu nifas yang menderita Kurang Energi Kronis (KEK), seluruh bayi (6-11 bulan) dan anak (12-23 bulan) dari keluarga miskin seperti pada butir 1.
Kelompok sasaran tersebut merupakan kelompok sasaran yang ingin dicapai dalam program Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPSBK). Program ini merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi dampak negatif akibat krisis. Selain JPSBK, program yang dilakukan melalui JPS meliputi JPS padat karya, JPS pengembangan usaha pertanian, JPS pengembangan ekonomi keluarga miskin, JPS pendidikan, JPS pengembangan usaha kecil dan menengah, dan JPS pangan.
Program JPSBK ditujukan untuk membantu keluarga-keluarga miskin di seluruh Indonesia agar tetap terpelihara kesehatannya. Pada dasarnya tujuan umum dari program tersebut adalah meningkatkan/ mempertahankan dan derajat kesehatan dan status gizi keluarga miskin. Sedangkan tujuan khususnya adalah: (1) memberikan bantuan dana pelayanan kesehatan dasar dan rujukan bagi keluarga miskin, (2) memberikan pelayanan kebidanan dan pelayanan rujukan kebidanan bebas biaya bagi ibu hamil, ibu bersalin, dan ibu nifas (dengan bayi neonatalnya) dari keluarga miskin, (3) memberikan makanan tambahan bagi ibu hamil dan ibu nifas KEK, bayi (6-11 bulan) dan anak (12-23 bulan) dari keluarga miskin, (4) memantapkan Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) di Dati II dan Kecamatan, (5) menyelenggarakan JKPM dengan menyediakan premi bagi keluarga miskin di seluruh Dati II, dan melakukan pengamatan khusus penyelenggaraan JKPM di sepuluh Dati II.
Dalam Program JPSBK juga dilakukan pengembangan JPKM (Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat) di seluruh Dati II. Idealnya semua keluarga miskin di seluruh Dati II memperoleh penanganan yang sama meskipun dana program ini berbeda, yaitu dari ADB dan APBN. Dana dari ADB ditujukan untuk 8 (delapan) propinsi yaitu Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Maluku dan Irian Jaya, dan dari dana APBN untuk 19 propinsi lainnya. Dana APBN juga diberikan kepada propinsi lokasi bantuan ADB untuk kabupaten dan kegiatan yang belum dicakup oleh bantuan ADB.
Beberapa upaya yang dapat dilakukan dalam rangka meningkatkan status gizi masyarakat terutama bayi atau balita adalah: mengaktipkan kembali Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) dengan memanfaatkan dana jaring pengaman sosial bidang kesehatan. Berkaitan dengan pelaksanaan SKPG, maka pejabat Departemen Kesehatan sebaiknya turun ke daerah memberitahukan Gubernur, Bupati, serta instansi terkait agar melakukan SKPG. Hal ini dikarenakan status gizi buruk/kurang merupakan rantai terakhir akibat kurang pangan yang sejak awal tidak ditangani. Indikator yang perlu dilihat dalam pelaksanaan SKPG antara lain: (1) adanya penimbangan di posyandu sebagai suatu isyarat dini di tingkat terendah, kalau berat bayi tidak naik tiap bulan, dan (2) perubahan pola konsumsi penduduk dari kemampuan mereka membeli atau kebiasaan makan bahan makanan pokok sehari-hari yang pada saat krisis menurun jumlah maupun intensitasnya.
Berkaitan dengan posyandu, perannya sangat panting untuk memantau kesehatan balita, namun pelaksanannya perlu didukung dengan dana yang memadai. Jumlah dan program yang jelas belum tentu bisa dilakukan jika tidak didukung oleh dana yang memadai.
Upaya lain yang perlu disarankan dalam rangka memperbaiki status gizi masyarakat adalah melaksanakan program pemberian makanan tambahan dengan dengan tujuan untuk meningkatkan status gizi anak, untuk mencegah proses deteriorasi status gizi, pencegahan penyakit infeksi, dan menyelenggrakan program KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) kepada orang tua sasaran. Meskipun demikian juga perlu diperhatikan kekurangan-kekurangan dan program tersebut, yang antara lain menyangkut kandungan zat gizi dan jenis pangan, frekuensi pemberian, kelompok umur sasaran, prosedur pentargetan, dan hubungan dengan penyedia makanan.
Secara mendasar terdapat dua pendekatan dalam hal jenis pangan dalam program pemberian makanan tambahan, yaitu (1) pendekatan didasarkan pada ketersediaan pangan lokal, (2) pendekatan didasarkan pada bantuan pangan atau pangan campuran (blended food). Meskipun hal ini masih merupakan perdebatan dalam pelaksanaannya. Khusus untuk usia 6-11 bulan dianjurkan untuk menggunakan pangan campuran, karena produk ini menyediakan keperluan zat gizi sesuai dengan kebutuhan. Oleh karena itu disarankan jenis makanan tersebut diperkaya dengan zat gizi mikro esensial untuk meningkatkan status gizi mikro anak. Selanjutnya untuk anak usia lebih dari 12 bulan disarankan untuk menggunakan pangan olahan.
Lama program pemberian makanan tambahan sebaiknya berlangsung sampai usia kritis atau sekurang-kurangnya 10-12 bulan. Hal ini didasarkan pada pengalaman di Klinik Gizi Puslitbang Gizi Bogor, yaitu untuk memperbaiki anak yang berstatus gizi kurang sampai berstatus gizi sedang diperlukan pemberian makanan tambahan enam bulan. Sedangkan untuk program yang berskala besar disarankan untuk menggunakan tenaga lokal dengan memperluas periode pemberian makanan tambahan sampai 10-12 bulan.
Berkaitan dengan 7PSBK, seharusnya keluarga-keluarga yang menjadi kelompok sasaran program pemberian makanan tambahan tercakup dalam upaya pengentasan kemiskinan atau peningkatan status sosial, ekonomi dari masyarakat miskin. Namun demikian program 7PSBK ini bukan hanya untuk membagi-bagikan uang saja tetapi perlu dimonitor pelaksanaanya, sehingga kemungkinan salah sasaran dapat dikurangi. Sebenarnya melesetnya sasaran tidak akan terjadi, jika semua pihak mempunyai kesadaran akan hak dan kewajiban masing-masing, sehingga tidak terjadi penyerobotan terhadap hak-hak orang lain (termasuk hak orang miskin). Salah satu hal panting dalam hal ini adalah memperbaiki sikap mental/moral dan menumbuhkan kesadaran semua pihak akan hak dan kewajiban, tidak hanya mementingkan diri sendiri saja.
Dalam rangka memperbaiki status gizi dan meningkatkan kesehatan balita disarankan supaya Departemen Kesehatan membuat perencanaan logistik obat-obatan untuk pengobatan gejala penyakit terutama untuk penyakit yang banyak dialami oleh anak balita. Misalnya penyediaan obat-obatan untuk mencegah atau mengobati penyakit mencret (oralit atau larutan gula garam). Selain itu, sebaiknya Departemen Kesehatan lebih memprioritaskan program bantuan pada penduduk yang ada di daerah pedesaan baik dalam pendistribusian obat maupuan penyediaan fasilitas kesehatan. Misalnya dengan lebih mengoptimalkan kerja Puskesmas sebagai fasilitas yang paling banyak digunakan oleh masyarakat pedesaan.
Usaha mengatasi masalah gizi dihubungkan dengan program kesehatan yang intensif, karena program gizi tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan status gizi anak, tetapi juga berhubungan dengan masalah penyakit infeksi dan kesehatan lain. Oleh karena itu disarankan untuk menyediakan pengarahan ulang, pelatihan ulang terhadap tenaga gizi yang berhubungan dengan tenaga-tenaga dari Departemen Kesehatan, Pertanian, Koperasi, Dalam Negeri, Sosial, dan sebagainya.
Pengorganisasian JPSBK atau program lain yang sejenis sudah lintas sektor, namiin yang memegang dana adalah puskesmas. Kondisi seperti ini sebenarnya mempunyai kelemahan, karena puskesmas sebagai pelaksana juga sekaligus sebagai pemegang dana. Jadi sebaiknya dana yang disalurkan oleh Bappenas melalui Kantor Pos dikelola oleh pihak lain selain puskesmas, sehingga fungsi pelaksana, pengelola dan pengawas diharapkan dapat berjalan dengan baik.
Selain itu, disarankan agar terus diadakan sosialisasi program JPSBK kepada masyarakat, kontinuitas program, upaya mengatasi ketergantungan masyarakat terhadap program, pelatihan petugas dan peran aktif puskesmas turun ke sasaran, serta pemberdayaan tokoh masyarakat sebagai sosialisasi program.
Upaya yang dapat dilakukan terhadap masyarakat untuk mengatasi ketergantungan terhadap program yaitu dengan pemberdayaan keluarga miskin melalui penyaluran dana, supaya taraf hidupnya meningkat. Beberapa hal yang dapat dilakukan yaitu dengan membentuk lembaga keuangan pedesaan yang merupakan pemberi kredit usaha kecil. Upaya inovatif yang dilakukan dalam menyalurkan kredit yakni dengan menekankan cara pemberian secara kelompok. Dengan cara ini diharapkan dapat menimbulkan sikap saling bertanggung jawab dan saling mendukung dalam menyukseskan usaha masing-masing anggota. Mekanisme yang mungkin dapat dilakukan yaitu dengan mewajibkan setiap calon peminjam untuk membentuk kelompok yang berjumlah lima orang, yang masing-masing kelompok mempunyai usaha kecil. Berkaitan dengan ini sebenamya telah banyak jenis-jenis bantuan yang dapat diberikan kepada keliarga-keluarga miskin, seperti koperasi-koperasi, kredit usaha tani, program IDT (Inpres Desa Tertinggal), takesra dan kukesra. Namun pada kenyataanya program tersebut tidak sampai kesasaran, bahkan mungkin masyarakat tidak tahu bagaimana cara memperolehnya. Meskipun sudah tahu prosedur, namun kredit kadang tidak kunjung cair.
Upaya lain yang dapat dilakukan dalam menghadapi kelompok sasaran adalah dengan memberikan penyuluhan tentang pentingnya kesehatan dengan memberi pengetahuan mengenai cara pencegahan penyakit dan cara-cara hidup sehat. Selain itu, untuk mengatasi masalah kurangnya kemampuan masyarakat dalam pembiayaan kesehatan dapat dilakukan dengan asuransi kesehatan yang dapat menjangkau kelompok pendapatan rendah.
Di pihak lain pars peserta program .FPS seperti koperasi dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dituntut kesadarannya untuk tidak mengatas namakan rakyat kecil demi kepentingan sendiri, atau tidak menggunakan dana yang bukan haknya dengan cara menipu (misal mengajukan lahan fiktif untuk memperoleh KUT). Oleh karena itu, seharusnya birokrasi yang diterapkan tidak menyulitkan masyarakat kecil, dan petugas yang berwenang mempunyai kesadaran untuk memberdayakan masyarakat miskin. Selama sikap mental ini belum bisa diberantas, maka program sebaik apapun tidak mungkin akan berjalan dengan sebagaimana mestinya. Dalam hal ini diperlukan adanya suatu kontrol dari semua pihak terhadap pelaksanaannya, yang apabila program tersebut tidak mengenai sasaran dikenakan sanksi.
Mubyarto (1999) mengatakan bahwa pemihakan pemerintah lebih diperlukan daripada PS. Lebih lanjut dikatakan bahwa paradigma pembangunan nasional adalam pembangunan yang bertumpu pada kekuatan ekonomi rakyat, yaitu pembangunan yang makin memperkuat dan makin memberdayakan. Dulu kata rakyat tidak hanya berbobot filosofis humanis, tetapi juga menggambarkan bahwa orang-orang di lembaga-lembaga pemerintah diharapkan memiliki Kati nurani, rasa kemanusiaan, dan pengorbanan besar yang sesuai untuk jamannya. Berbicara mengenai kerakyatan dan ekonomi rakyat berarti menunjukkan ada suatu rasa tanggung jawab moral dari orang-orang yang sudah lebih baik posisinya daripada mereka yang perlu diangkat dan dipihaki.
Pembicaran yang berkaitan dengan masalah krisis ini cukup menarik untuk dikaji, terutama berkaitan dengan informasi dampak krisis yang berbeda-beda. Sebagai contoh Bank Dunia mengemukakan bahwa status gizi buruk di Indonesia tidak mengalami peningkatan dari pra krisis sampai masa krisis. Namun pada kenyataan hampir setiap hari pemberitaan di media masa menyebutkan ada kasus balita kurang gizi bahkan sampai mengakibatkan kematian. Sedangkan dari analisis-Basuni dkk (1999) berdasarkan data Susenas tahun 1989 sampai tahun 1998, memperlihatkan bahwa telah terjadi penurunan status gizi buruk dari sekitar 35,7 persen (tahun 1989) menjadi 30.5 persen (tahun 1995), dan 27.8 persen (tahun 1998). Namur jika umur dipecah menjadi kelompok 6-17 bulan, tampak peningkatan status gizi di daerah perkotaan dari 23.3 persen (tahun 1995) menjadi 24.6 persen (tahun 1998), dan di pedesaan meningkat dari 29,9 persen (tahun 1995) menjadi 31,9 persen tahun 1998. Indeks ini didasarkan pada indeks BBIU (underweight) sebagai ukuran yang baik untuk pengaruh krisis jangka pendek. Dalam hal ini tampak bahwa status gizi burukllrnrang sudah lama terjadi sebelum krisis, hanya mungkin kejadiannya tidak sesering setelah krisis. Sebenarnya mungkin saja status gizi buruk/kurang sudah banyak terjadi lama sebelum krisis, namuan tidak secara transparan dikemukakan. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan sistem pemerintahan yang bersifat kurang terbuka pada waktu pra krisis, sehingga kasus-kasus seperli itu berusaha untuk ditutupi. Pada waktu pra krisis, upaya mendapatkan penghargaan dari pihak yang lebih tinggi (atasan) dianggap merupakan satu hal yang paling penting dibandingkan dengan mengatasi status gizi buruk/kurang.
Terlepas dari: berbagai perbedaan pendapat tersebut, disarankan untuk melihat lebih jauh dampak krisis dengan menganalisis data SAKERTI tahun 1997 dan 1998. Khusus berkaitan dengan status gizi disarankan untuk menganalisis usia balita dengan kelompok umur yang dipecah menurut kelompok umur (dalam bulan), misal enam bulanan. Pemecahan kelompok umur ini panting mengingat terdapatnya perbedaan hasil status gizi yang diperoleh dengan adanya perbedaan kelompok umur tersebut.
Disarankan juga untuk melakukan studi semacam ini lebih lanjut secara lebih mendalam, antara Iain dengan menganalisis: (1) hubungan antara status disabilitas dengan status kesakitan atau status gizi, (2) hubungan antara status disabilitas, status kesakitan dan status gizi dengan upaya pencarian pengobatan (rawat jalan, rawat inap, dan pengobatan sendiri), (3) status disabilitas, status kesakitan dan status gizi menurut jenis kelamin. Pembagian menurut jenis kelamin ini untuk melihat status disabilitas, status kesakitan dan status gizi wanita terutama wanita hamil dan wanita pada masa nifas sebagai salah satu sasaran program .IPSBK. (4) menurut propinsi, sehingga bisa digunakan untuk perencanaan per propinsi.

 File Digital: 1

Shelf
 T1213-Lilis Heri Mis Cicih.pdf :: Unduh

LOGIN required

 Metadata

Jenis Koleksi : UI - Tesis Membership
No. Panggil : T-Pdf
Entri utama-Nama orang :
Entri tambahan-Nama orang :
Entri tambahan-Nama badan :
Program Studi :
Subjek :
Penerbitan : [Place of publication not identified]: [Publisher not identified], 1999
Bahasa : ind
Sumber Pengatalogan : LibUI ind rda
Tipe Konten : text
Tipe Media : computer
Tipe Carrier : online resource
Deskripsi Fisik : xxvii, 124 pages : illustration ; 28 cm + appendix
Naskah Ringkas :
Lembaga Pemilik : Universitas Indonesia
Lokasi : Perpustakaan UI, Lantai 3
  • Ketersediaan
  • Ulasan
  • Sampul
No. Panggil No. Barkod Ketersediaan
T-Pdf 15-17-288804825 TERSEDIA
Ulasan:
Tidak ada ulasan pada koleksi ini: 75329
Cover