Lahirnya Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan mempunyai prinsip mempersulit perceraian. Akan tetapi, prinsip tersebut belum diikuti oleh peraturan lainnya. Hal ini terbukti baik Undang-Undang No. 1 tahun 1974 maupun Undang-Undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama secara tegas masih mengakui hukum acara yang lain, seperti HIR, Rbg, dan lain sebagainya. Adapun hukum acara yang secara khusus diatur dalam UU No. 7 tahun 1989 hanya masalah cerai talak, cerai gugat dan cerai dengan alasan zina. Dalam hal pembuktian masih menggunakan HIR, Rbg, BW dan sebagainya.
Pengakuan merupakan salah satu alat bukti yang diatur HIR, Rbg, BW, dengan demikian dapat dimungkinkan terjadinya kesepakatan untuk melakukan perceraian dengan menggunakan peluang pengakuan sebagai alat bukti. Hal ini bertentangan dengan prinsip Undang-Undang No. 1 tahun 1974, PP No. 9 tahun 1975. Penelitian ini bertujuan (1) mengetahui penerapan alat bukti pengakuan dalam perkara perceraian, (2) mengetahui dan mengkaji kekuatan bukti pengakuan dalam perkara perceraian di pengadilan agama, (3) untuk mengetahui pertimbangan hakim terhadap pengakuan sebagai alat bukti dalam perkara perceraian.
Penelitian ini dilakukan dengan cara meneliti putusan pengadilan agama yang menggunakan pengakuan sebagai dasar pertimbangan putusan. Responden dalam penelitian ini adalah hakim pengadilan agama Yogyakarta dengan menggunakan teknik wawancara secara mendalam.
Hasil penelitian yang diperoleh, (1) hakim menerapkan alat bukti pengakuan dalam perkara perceraian secara mutlak, (2) pengakuan merupakan alat pembuktian yang kuat dan bersifat sempurna serta menentukan, artinya bahwa dengan diakuinya dalil gugatan atau permohonan talak hakim tidak membutuhkan pembuktian lanjutan, hakim dapat mengabulkan gugatan atau permohonan talak, (3) hakum menggunakan alat bukti pengakuan sebagai dasar pertimbangan putusannya, berdasarkan kaedah fikiyah, dan Pasal 164 HIR, 174, 175 dan 176, karena hakim berpendapat bahwa pengakuan termasuk alat bukti yang sah dan diatur dalam Undang-undang.