Persoalan kebohongan dan persoalan-persoalan fundamental yang tersembunyi di baliknya direfleksikan dari sudut pandang eksistensial dan etis atas dasar keempat drama penulis Norwegia, Henrik Ibsen. Penggunaan kedua pendekatan tersebut dimaksudkan untuk memperoleh pengertian secara mendasar tentang pertanyaan mengapa kebohongan dijadikan sebagai tumpuan dan andalan oleh para tokoh untuk mempertahankan "eksistensi" masa lalu. Persoalan selanjutnya adalah bahwa setelah kebohongan dijadikan sebagai ciri dan cara bereksistensi para tokoh, lalu apa yang semestinya dilakukan oleh masing-masing pelaku (tokoh) drama yang telah terlanjur membangun eksistensi dirinya di atas kebohongan demi kebohongan.
Dengan metode abduktif, induktif-verifikatif dan esensialistis kebohongan-kebohongan para tokoh dari keempat drama Ibsen tersebut diinterpretasikan dan direfleksikan berdasarkan pemikiran seorang filsuf eksistensial religius, Soren A. Kierkegaard, dan seorang filsuf eksistensial ateis Jean-Paul Sartre. Dengan itu difahami bahwa sikap mempertahankan kebohongan sebagai cara bereksistensi semakin menjauhkan masing-masing pelaku dan bahkan korban tindak kebohongan dari peluang pengembangan dan pemenuhan eksistensi dirinya.
Dengan bercermin pada berbagai kisah kebohongan yang dilakukan oleh para tokoh dan peristiwa yang menimpa para pelaku dan korban kebohongan, diketahui bahwa kebohongan -- pada hakekatnya -- tidak sesuai dengan kodrat kemanusiaan pada diri manusia. Mengapa setiap kebohongan senantiasa terbongkar dari ditanggalkan oleh (seorang) pelaku berpangkal pada fakta dasariah di dalam diri manusia, yakni bahwa kebohongan tidak sesuai dengan keyakinan akan kebenaran di dalam dirinya dan ciri kontradiktif dari setiap kebohongan itu sendiri. Kedua hal tersebut menjadikan kebohongan tidak pernah mampu menjadi dan dijadikan landasan eksistensi yang dapat dipertanggung-jawabkan.
Kenyataan dasariah tersebut di atas dipahami berdasarkan fakta bahwa para tokoh - sebagai manusia yang berkesadaran - akhirnya sampai pada suatu kesadaran bahwa hidup sebagai manusia tidak cukup dengan hanya sekedar bertahan (surviuelzen). Lebih dari itu, manusia pada akhirnya senantiasa menemukan suatu ruang transenden di dalam dirinya, yakni kecenderungan untuk dapat `hidup bahagia' (euzen) - hal mana tidak dapat dicapai melalui kebohongan (penipuan/pembohongan diri/orang lain).
Akhirnya, penelitian atas empat drama Ibsen dengan menggunakan pendekatan eksistensial dan etis ini sampai pada satu kesimpulan bahwa kebohongan hanya menjadikan manusia sebagai eksistensi tidak otentik, bahwa manusia harus menanggalkan kebohongan sebagai ciri eksistensialnya untuk mencapai suatu eksistensi otentik, bahwa manusia memang harus menjadi dirinya sendiri. Dan `menjadi dirinya sendiri' tetap merupakan suatu hasil yang tidak pernah final dari proses perubahan dari `ada' menuju suatu keadaan `menjadi,' yang akan kembali menjadi `ada' dan dibawa ke dalam proses perubahan untuk menjadi dirinya yang hakiki.