Tesis ini berangkat dari pengamatan bahwa telah terjadi pengabaian terhadap pelaksanaan kebijakan pemindahan ibukota Ngada yang telah dibuat oleh pemerintah daerah tingkat II Ngada, melalui keputusan DPRD II Ngada Nomor 4 Tahun 1973. Kebijakan ini sendiri lahir melalui suatu proses pertarungan panjang diantara tiga etnik yang membentuk masyarakat Ngada (etnik Riling, Nagekeo dan Ngadha), yang berlangsung sejak bedirinya kabupaten Ngada Tahun 1958. Dilihat dari proses sejarah pemerintahan Daerah Ngada, penentuan letak ibukota kabupaten Ngada sejak berdirinya, masih merupakan problem sosial politik yang pelik dan rumit, mengingat masing-masing etnik mempunyai keinginan dan motivasi yang berbeda mengenai letak ibukota Ngada.
Kebijakan ini lahir diawali dengan himbauan gubernur Eltari (aim.) kepada pemda tingkat II Ngada di bawah kepemimpinan bupati Yan Botha, untuk memindahkan ibukota Ngada dari kota Bajawa ke kota Mbay. Kota Bajawa dianggap tidak ideal untuk suatu ibukota kabupaten baik untuk saat ini maupun masadepan. Sekaligus sebagai solusi untuk menengahi konflik premordial antara ketiga etnik yang membentuk masyarakat Ngada, dan telah berlangsung begitu lama dalam menentukan letak ibukota Ngada. Sayangnya sejak kebijakan ini dibuat hingga pada tahun 1994, tidak pernah ada lagi upaya lanjutan untuk mengimplementasikan kebijakan ini, atau terabaikan begitu saja balk oleh bupati Yan Botha yang paling bertanggungjawab terhadap pembuatan kebijakan dimaksud saat itu maupun para pimpinan daerah berikutnya.
Berkaitan dengan itu maka permasalahan yang diangkat dalam tesis ini adalah menyangkut faktor-faktor apakah yang menyebabkan tidak dilaksanakannya kebijakan pemindahan ibukota Ngada yang telah dibuat DPRD II Ngada tahun 1973. Apakah pengaruh faktor ekonomi semata sehingga tidak dilaksanakannya kebijakan dimaksud atau ada faktor lainnya yang sifatnya politis dan psikologis. Kemudian mempertanyakan pula peran berbagai institusi masyarakat dalam proses perumusan keputusan pemindahan ibukota Ngada dan penolakan etnik Ngadha terhadap keputusan dimaksud. Siapa saja yang berperan besar dibalik proses pengangkatan kebijakan tersebut, power politics apa yang terjadi waktu itu.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan wawancara mendalam kepada para pelaku sejarah yang terlibat dalam pertarungan proses perumusan kebijakan dimaksud yang berlangsung sejak tahun 1958, yaitu 15 nara sumber dan beberapa informan lain yang dipilih dengan metode snow ball. Selain itu juga dilakukan studi kepustakaan dan dokumen-dokumen pendukung yang berhubungan dengan kebijakan ini.
Hasil penelitian disajikan dengan cara rnenggambarkan temuan-temuan yang sating berkaitan, dan diuraikan dengan menggunakan kerangka teori yang ada. Kerangka teori yang dipakai dalam analisi ini menyangkut tiga hat pokok yaitu teori konflik dan pluralisme kultural, teori kebijakan publik dan sedikit mengenai kondisi perekonomian daerah. Perbedaan latar belakang budaya dan kepentingan antara etnik, merupakan akar dan konflik dalam hal menentukan kebijakan apapun di Ngada. Konflik antar etnik ini kemudian mewujud ke dalam politik dan birokrasi pemerintahan daerah, yang ditandai dengan lahirnya berbagai faksi politik yang berbasiskan kekuatan etnik.
Hasil penelitian memperlihatkan pula, bahwa kebijakan yang diambil, yang dianggap begitu prestisius untuk masyarakat Ngada, dalam prosesnya justru terbukti hanya merupakan alat politik semata untuk mempertahankan posisi politik masingmasing, dan bukan niat sesungguhnya. Akibatnya political will untuk maksud ini tidak ada. Kondisi ini kemudian diperparah oleh masih adanya penolakan etnik Ngada terhadap kebijakan pemindahan ibukota Ngada. Faktor yang sangat dominan dari penolakan etnik Ngada terhadap kebijakan ini, adalah menyangkut permasalahan yang sifatnya politis dan psikologis, yang mana masih beranggapan bahwa lahirnya kebijakan ini sebagai suatu bentuk kekalahan politik etnik Ngadha dan etnik lainnya (Riung clan. Nagekeo), dalam pertarungan politik untuk menentukan letak ibukota Ngada, dan tanpa melihat lebih jauh lagi pertimbangan-pertimbangan yang rasional dibalik lahirnya kebijakan dimaksud. Hal ini dipengaruhi budaya kekuasaan yang melihat simbol kota propinsi kabupaten dan lainnya sebagai simbol kekuasaan.
Sedangkan faktor ekonomi (ketiadaan dana untuk pembangunan kota), walaupun itu ada namun bukan merupakan faktor yang dominan dalam melihat mengapa kebijakan ini tidak dilaksanakan, mengingat pada saat kebijakan ini diluncurkan secara nasional ekonomi Indonesia sedang mengalami kenaikan yang tajam sejalan dengan era boom minyak. Segala dana-dana yang diperuntukan untuk pembangunan kota Bajawa seyogyanya di alokasikan ke kota baru di Mbay. Tidak adanya political will pimpinan daerah dibawah Yan Botha, berikut para penggatinya kemudian untuk melaksanakan kebijakan yang telah dibuat merupakan suatu fakta yang tidak dapat dibanta, dan bukan karena persoalan ekonomi semata sebagairnan anggapan masyarakat selama ini.
Langkah untuk segera mengimplementasikan kebijakan ini yang dimulai sejak tahun 1994 oleh gubernur Musa Kabe, merupakan suatu langkah maju dengan pertimbangan-pertimbangan rasional terutama berhubungan dengan gagasan penataan wilayah pengembangan dan pertumbuhan baru di NTT. Dalam kerangka ini kota Mbay diharapkan menjadi Aktor Otonom yang mempunyai kepentingannya sendiri dalam arti dapat bersaing dengan kota-kota lain dalam memperebutkan sumber-sumber ekonomi, sosial dan politik, dan berusaha untuk memperoleh posisi dominan dalam setiap hierarkhi pemilikan dan penguasaan sumberdaya. Oleh karena itu para pemimpin daerah berikutnya siapapun orangnya dan juga komponen masyarakat Ngada sudah seharusnya menerima realitas ini, dan harus terus mengembangkannya, dan tidak lagi terjebak pada kepentingan-kepentingan primordial semata, seperti yang telah berlangsung lama.