ABSTRAKPerlawanan pasukan Pattimura pada tahun 1829 di Saparua merupakan kelanjutan Perang Pattimura 1817. Sebab musabab yang mendasari Perang Pattimura juga menjadi alasan bagi pasukan Pattimura untuk melakukan aksi. Semula mereka bersama Kapitan Pattimura telah minum sumpah (angkat janji setia melalui tetesan darah yang diminum bersama) untuk berjuang mengusir penjajah Belanda dari wilayahnya, di Bukit Saniri dalam suatu musyawarah besar. Janji setia kepada Kapitan yang mereka kagumi dan ketaatan pada tanah tumpah darah yang melahirkan mereka, memberikan pilihan hidup atau mati untuk perjuangannya. Mereka menyaksikan pemimpin-pemimpinnya mati digantung di depan benteng Victoria oleh penguasa untuk menakut-nakuti rakyat, karena itu mereka akan lebih berhati-hati dalam mengatur strategi.
Organisasi pemerintahan negeri sesudah perang Pattimura tidak dapat menampung dan menyalurkan aspirasi rakyat karena telah diawasi secara ketat melalui Stb. 1824. No. 19. a. tentang pemerintahan negeri. Satu-satunya wadah yang dapat dijadikan sebagai kendaraan untuk menyatukan persepsi dan menyalurkan aspirasi adalah organisasi tradisional masyarakat yang disebut Kewang. Kewang adalah satu-satunya organisasi tradisional masyarakat yang lepas dari pengamatan Hindia Belanda. Pemimpinnya disebut Latukewano atau raja hutan, pengelola disebut Sina Kewano dan para anggota disebut Ana Kewano atau anak Kewang.
Para Kewang (pemuda negeri anggota Kewang) berhubungan secara rahasia antar sesama mereka dari berbagai negeri untuk saling menyampaikan dan melengkapi informasi. Untuk itu mereka sering mengadakan rapat di hutanhutan. Hasil pertemuan dilaporkan kepada para serdadu Saparua yang berada di Ambon. Para serdadu ini mempunyai sikap yang sama terhadap Pemerintah Hindia Belanda, hanya saja mereka bernasib lebih baik karena tidak dicurigai.
Tatkala terdengar berita bahwa mereka akan dikirim ke luar daerah (Ambon) untuk berperang di Jawa dan Sumatera mereka memutuskan bahwa itulah saat yang tepat untuk menyerang Pemerintah Hindia Belanda. Mereka tidak mau meninggalkan tanah tumpah darah mereka dan dipisahkan dari keluarga. Karena itu mereka intensifkan komunikasi dengan para Kewang dan sisa-sisa pasukan Pattimura yang berada di Saparua. Mereka menyurat dan menyampaikan berita ini kepada pasukan Pattimura di Saparua yang dipimpin Izaak Pollatu, Marsma Sapulette dan Tourissa Tamaela. Ketiga orang itu selain sebagai pemimpin kelompok yang telah siap melawan Belanda juga adaiah kepala Kewang dari negeri-negeri Tuhaha, Ulath dan Porto di pulau Saparua.
Rapat-rapat makin diintensifkan antara lain di rumah Izaak Pollatu, kemudian di Marsma Sapulette. Mereka membahas surat dari serdadu di Ambon dan sebagian lagi siap untuk menyerang Belanda di Saparua. Salah satu surat yang ditujukan untuk raja Saparua jatuh ke tangan residen. Akhirnya rahasia perlawanan bocor dan Pemerintah Hindia Belanda mengambil langkah-langkah pengamanan dan menggagalkan usaha para Kewang yang telah bertahun-tahun mempersiapkan rencana itu. Perlawanan pasukan Pattimura di Saparua tahun 1829 yang bekerjasama dengan serdadu Saparua di Ambon itu pun gagal. Mereka ditangkap dan diajukan ke pengadilan negeri di Ambon. Pergolakan rakyat di daerah ini berakhir di sini.