ASBTRAKBerbagai daerah di Indonesia dalam periode 1947-1949 terlibat dalam perlawanan bersenjata. Gerilya kola di Probolinggo tidak terpisahkan dari aksi militer Belanda tahun 1947. Arti penting jenis perlawanan gerilya kota tidaklah karena dampaknya di bidang politik, melainkan sebagai gejala yang khas dalam perang kemerdekaan. Gerilyawan mengadakan perlawanan di dalam kota yang justru menjadi konsentrasi kekuatan tentara musuh. Fenomena demikian belum banyak dikaji, apalagi terekam dalam sejarah yang bersifat nasional. Studi ini berusaha mencari jawab atas masalah, mengapa pihak tentara memilih kota sebagai ajang perlawanan, bagaimana pihak tentara dapat bertahan di dalam kota yang diduduki musuh, bagaimana upaya pihak tentara untuk merealisasikan tujuan-tujuannya?
Gerilya kota dapat dikatagorikan sebagai aksi Kolektif. Aksi kolektif ialah orang-orang yang bertindak secara bersama untuk mencapai kepentingan bersama. Komponen-komponen yang terdapat dalam aksi kolektif, yaitu kepentingan bersama, organisasi, sumber daya, dan kesempatan.
Aktivitas penelitian disesuaikan dengan langkah-langkah yang terdapat dalam metode sejarah. Meliputi heuristik, kritik, interpretasi dan penyajian. Data yang terkumpul berupa data deskriptif. Sumber data berupa arsip, arsip yang diterbitkan, catatan kenangan yang tidak diterbitkan, hasil wawancara, surat kabar, majalah, artikel dan buku.
Aksi militer tanggal 21 Juli 1947 rnembawa perubahan tatanan politik. Kota Probolinggo tidak dapat dipertahankan dan diduduki Belanda. Gerilya kota di Probolinggo lahir sebeium munculnya strategi penjemuan atau perorongan (atrition trateg y). Sistem pertahanan linier TNI tidak berhasil menahan serbuan Brigade Marinir pada 21 Juli 1947, bergerak ke samping dan membentuk keiompok.-kelornpok perlawanan yang beroperasi dengan taktik gerilya, Operasi gerilya di dalam kota disebabkan dua faktor. Pertama, batalyon Abdoes Sjarif kewalahan dan tidak mampu menghadapi operasi militer Belanda. (1) Posisi Belanda di kota Probolinggo sangat kuat. Kota diduduki pasukan infanteri marinir yang terkenal berpengalaman dalam PD 11, ditambah pasukan KNIL, pasukan Tjakra, dan polisi. Kapal-kapal perang Belanda yang berada di pelabuhan senantiasa memberikan bantuan tembakan meriam ke darat, ke daerah-daerah yang dipandang kantong tentara Republik. Operasi gerilya di dalam kota untuk memecah konsentrasi dan kekuatan musuh, (2) Lemahnya jaringan intelejen. Operasi intelejen yang cenderung pasif; hanya sebagai pengumpul informasi, terbukti tidak banyak membantu dalam
aksi militer Belanda. Gerilya kota diharapkan dapat memberikan informal yang eepat dan lengkap untuk kepentingan gerakan gerilya lainnya,(3) Moral anggota tentara merosot (kalap kaku). Serbuan Belanda yang cepat disertai perang urat syaraf, kekejaman yang disertai dengan mempertontonkan korban, serta gempuran yang terus menerus melemahkan moril pejuang TNI. (4) Pasukan Tjakra sebagai pembantu tentara Belanda ikut menghancurkan reputasi tentara Republik di mata rakyat. Jawaban gerilyawan terhadap berbagai upaya menjauhkan dukungan rakyat adalah dengan kontra teror, intimidasi, perusakan, dan lain-lain. Kedua, upaya menghancurkan organisasi orang-orang Cina, Pao An Tui (PAT), karena banyak anggota PAT bertindak sebagai mata-mata Belanda.
Gerilyawan dapat bertahan dan melakukan operasi di dalam kota hingga perang usai dilatarbelakangi beberapa faktor. (1) Di kota kebencian terhadap penguasa asing secara historis jelas. Fenomena demikian memudahkan untuk melakukan mobolisasi selama perang gerilya. (2) Basis sosial gerilya terutama berasal dari priyayi, petani, dan pedagang. Priyayi mampu menempatkan diri dalam situasi yang berubah. Priyayi berusaha mengangkat kembali perannya yang pada masa akhir pemerintahan Hindia Belanda mengalami kemerosotan. Keterlibatan petani dan pedagang merupakan reaksi spontan terhadap perubahan sosial yang cepat. (3) Adanya pemimpin yang memiliki kemampuan mengatur siasat dan dapat diterima di kalangan pendukung gerakan.
Sistem wehrkreise hakekatnya adalah memobilisasi rakyat demi kepentingan perjuangan. Mobilisasi dana dan tenaga dilakukan dalam bentuk dukungan yang bentuknya bervariasi. Kebutuhan logistik anggota diperoleh berkat partisipasi rakyat, berdagang, dan menggarap dengan sistem maro tanah negara yang terlantar. KTD berperan menggalang dukungan tenaga, simpatisan diorganisir dalam bentuk Pasukan Cadangan. Kebutuhan senjata dan amunisi diperoleh dengan merampas dan musuh dan rnempekerjakan petani di tangsi-tangsi militer. Sasaran yang berupa orang taktik operasi dinamakan tikam hilang dan perunduk. untuk menggalang dukungan selain dipergunakan cara propaganda, juga dengan kampanye bisik-bisik. Kerusuhan yang terjadi tanggal 31 Januari 1948 merupakan bukti kemampuan gerilyawan melakukan mobilisasi dan memprovokasi rakyat. Organisasi mencerminkan kelompok yang tertutup. Untuk mengetahui dunia luar banyak mempergunakan mata-mata, bantuan rakyat, dan penyamaran. Komunikasi penting menggunakan Sandi atau kode. Sistem perlindungan dapat dibedakan: perlindungan di dalam dan di luar rumah. Perlindungan di dalam rumah terdiri dari dari perlindungan di atap rumah dan perlindungan ruang bawah tanah (tuba-tabs). Perlindungan di luar rumah terdiri dari tiga model: rubah-rubah di sekitar halaman rumah, rubah-rubah di tebing sungai, dan rubah-rubah di sekitar kuburan.