KesimpulanSebagaimana telah dikemukakan pada bagian terdahulu, Shinran Shonin (1173 -1262) adalah seorang hijiri (pendeta kelas bawah), yang semasa hidupnya banyak menjadi panutan kalangan rakyat jelata. Melalui pemikiran keagamaan yang bertumpu pada konsep akunin shoki dan keyakinan yang bersifat zettai tariki, Shinran mengajarkan persamaan derajat manusia di mata Amida Butsu, sehingga ia menghilangkan garis pemisah di antara kalangan pendeta Budha - yang selama ratusan tahun identik dengan "wajah kekuatan" dan kekayaan rohani maupun materi - dengan para penganut Budha kategori awam - yang juga selama ratusan tahun identik dengan masyarakat kelas bawah" yang miskin dan tertindas, baik oleh para penguasa pemerintahan dan kaum bangsawan maupun oleh para pendeta sebagai penguasa di bidang agama.
Pemikiran keagamaan Shinran, berawal dari tumbuhnya kesadaran pada dirinya sendiri yang ternyata tidak sepenuhnya mampu melepaskan diri dari bonno (nafsu-nafsu keduniawian), meskipun ia sejak usia sembilan tahun sampai berumur 29 tahun telah mengikuiti jalan kependetaan (kerahiban) dan melakukan berbagai aktivitas ritual keagamaan yang berat.
Setelah Shinran memperoleh keyakinan bahwa ningen no honsitsu (hakekat manusia) adaiah bonno gusoku (tidak bisa melepaskan did dari bonno), maka dia sampai pada kesimpulan bahwa manusia memang tidak akan memperoleh kyusai (keselamatan atau penyelamatan) dan tidak bisa mencapai gokuraku jodo (bumi suci) tanpa melalui kekuatan lain, yakni kekuatan Amida Butsu (Amithaba Budha). Suatu keyakinan yang pada awalnya ia kenai melalui gurunya pendeta Honen (1133-1212), pendiri agama Budha Jodoshu (aliran Bumi Suci).
Bertolak dari kesadaran dan keyakinan semacam iniiah, akhirnya Shinran mengembangkan pemikirannya menjadi konsep akunin shoki dan keyakinan yang bersifat zettai tariki, yang kemudian berkembang menjadi suatu aliran baru dalam agama Budha Jepang yang dinamakan Jodoshinshu (sekte bumi suci yang benar atau sekte bumi suci yang sejati).
Ajaran Shinran ini bukan saja bertujuan menjustifikasikan jalan hidup dan praktek keagamaan bagi dirinya sendiri, tetapi juga bertujuan untuk membantu (merrmberikan pencerahan) bagi masyarakat Jepang kelas bawah pada zamannya, agar mereka dapat memperoleh karunia keselamatan secara langsung dari Amida Butsu tanpa melalui perantaraan para pendeta. Bahkan lebih dari itu, melalui ajarannya yang bertumpu pada konsep akunin shoki dan keyakinan yang bersifat zettai tariki tersebut, Shinran dapat dikatakan merupakan tokoh agama Budha Jepang yang pertama kali mempopulerkan suatu pola kehidupan keagamaan yang "tidak mengharuskan" para penganut Budha untuk menempuh jalan kependetaan (ke -rahiban) yang berat. Shinran jugalah yang menganjurkan agar para pendeta Budha Jepang dapat hidup secara wajar dengan membina keluarga. la sendiri mempelopori anjurannya itu dengan menikah dan mempunyai anak.
Akan tetapi, meskipun konsep akunin shoki dan keyakinan yang bersifat zettai tariki tersebut terlahir dari suatu proses pergulatan pemikiran Shinran yang berawal dari timbulnya kesadaran diri dan keyakinan mutlak terhadap Amida Butsu, namun kedua hal ini pada dasarnya juga tidak terlepas dari penafsiran Shinran terhadap ajaran gurunya pendeta Honen, pendiri agama Budha Jadoshu (aliran bumi suci) pada akhir zaman Heian.
Dalam konteks pemikiran para tokoh agama Budha Jepang, kurun waktu dalam abad terakhir zaman Heian sampai ke abad pertama zaman Kamakura, dikenal sebagai zaman mappo, yakni suatu zaman yang mencerminkan manusia kehilangan dharrnanya. Zaman yang bercirikan kehidupan masyarakat Jepang yang penuh dengan kejahatan, kekacauan, penindasan, dan penderitaan. Salah satu penyebab utamanya, adalah karena sebagian besar di antara para pemuka dan penganut agama Budha di Jepang saat itu tidak mentaati lagi ajaran-ajaran Budha.
Kondisi semacam ini diperparah lagi oleh adanya ?ketidakstabilan politik? yang seirama pula dengan tingkah-laku para pendeta Budha yang pada umumnya cenderung menyalah-gunakan (menyelewengkan) ajaran agamanya untuk memuaskan nafsu kekuasaan dan kepentingan pribadi yang bersifat genseryaku (mencari keuntungan duniawi).
Pendeta Honen, salah seorang dari sejumlah pemuka agama Budha Jepang pada zaman itu, mencoba menfasirkan dan mengaktualisasikan kembali ajaran-ajaran Budha untuk mencari jalan keluar dari ketidakpuasan warga masyarakat terhadap keadaan mappo tersebut. Honen mengajarkan suatu sistem kepercayaan yang bersifat isshinkyo (monotheistik) di dalam agama Budha, yaitu menanamkan keyakinan mutlak hanya pada satu hotoke (dewa Budha) saja, yang dinamakan Amida Butsu. Upaya pendeta Honen ini, sebagaimana telah dikemukakan di atas, diikuti dan dikembangkan oleh salah seorang muridnya, yakni Shinran Shonin, yang berusaha memberikan pencerahan kepada masyarakat Jepang terutama pada lapisan kelas bawah yang selama ratusan tahun identik dengan kaum miskin dan kaum tertindas.
Dengan demikian, melalui pemikiran keagamaan yang diajarkan-nya, Shinran telah banyak melakukan interpretasi terhadap etika dan ajaran Budha itu sendiri, untuk mengaktualkan ajaran Budha sesuai dengan konteks masyarakat Jepang pada zamannya.
Pada prinsipnya Shinran berpendapat bahwa setiap tarikan nafas dan segala daya-upaya di dalam kehidupan manusia di dunia ini, adalah rakhmat dan karunia Amida Butsu. Oleh karenanya, orang hams selalu mempunyai kesadaran terhadap dirinya sendiri sebagai akunin (orang jahat atau orang yang tidak baik), karena tidak sepenuhnya mampu melepaskan diri dari bonno (nafsu-nafsu keduniawiaan). Selain itu, orang harus yakin sepenuh hati dan berpasrah total terhadap Amida Butsu, yang akan menyelamatkan manusia sesuai dengan janji-Nya untuk menolong manusia mencapal gokoraku judo (bumi suci) atau sorga.
Bila perlu, menurut shinran, agar terjamin dapat menggapai bumi suci, setiap saat (pagi maupun malam hari), orang harus menyadari semua kesalahan dan kejahatan yang telah dilakukan-nya, karena kehidupan dapat saja berakhir seketika; sebelum orang yang bersangkutan menyadari atau mampu mengendalikan dirinya sendiri.
Dalam konteks pengendalian diri semacam inilah, Shinran mengartikan akunin (orang jahat atau orang yang tidak baik), adalah seseorang yang selalu menyadari dan berpikiran bahwa dirinya adalah orang baik. Sebaliknya, zennin (orang baik), adalah orang yang selalu menyadari atau berpikiran bahwa dirinya adalah akunin (orang jahat atau orang yang tidak baik). Dalam konteks pengertian semacam ini pula, maka salah satu ajaran Shinran yang cukup kontroversial pada zamannya dapat dipahami makna yang sesungguhnya. Ajaran tersebut berbunyi: "zennin nawomochite ojowotogu, iwanya akunin woya" artinya: "orang balk bisa masuk sorga apalagi orang jahat atau orang yang tidak baik."
Akunin (orang jahat atau orang yang tidak baik) yang bisa masuk sorga menurut jaran Shinran di atas, sesungguhnya adalah akunin yang telah menemukan kesadaran terhadap dirinya sendiri, bahwa sesungguhnya ia adalah akunin, karena tidak bisa melepaskan diri sepenuhnya dari bonno (nafsu-nafsu keduniawiaan) tetapi dapat mengondalikan dirinya untuk hidup secaia wajar disertai keyakinan dan kepasrahan total terhadap Amida Butsu. Akunin (orang jahat atau orang yang tidak baik) yang telah menemukan kesadaran dirinya demikian, pada hakekatnya di mata Amida Butsu telah menjelma menjadi zennin (orang baik).Dengan demikian, maka konsep akunin shoki (peluang yang baik bagi orang jahat) dapat dipahami maknanya.
implikasi dari ajaran Shinran yang bertumpu pada konsep akunin shoki dan keyakinan yang bersifat zettai tariki dalam masyarakat Jepang, khususnya di kalangan pengarut agama Budha Jodoshinshu, adalah temyata di satu sisi ajaran dan keyakinan tersebut merupakan salah satu faktor yang mendukung terciptanya sikap dan perilaku orang Jepang yang realistis, pragmatis, dan materialistis yang seolah-olah menghalalkan segala cara untuk mempertahankan kehidupannya di dunia; di sisi lain juga menjadi salah satu faktor yang mewujudkan sikap dan perilaku orang Jepang yang selalu berorientasi kepada kesabaran terhadap dirinya sendiri, yang tercermin dari "budaya malu" serta "sikap penuh rasa bersyukur dan terima kasih.
Adanya ungkapan seperti; arrigato gozaimasu (terima kasih), sumimasen (maaf, walaupun dalam konteks bukan dirinya yang salah), taihen osewani narimashita, okagesamade (berkat Anda), dan sebagainya; pada hakekatnya kesemuanya itu secara tidak langsung bagi para penganut agama Budha Jodoshinshu mencerminkan ungkapan bathin mereka sebagai rasa syukur dan rasa berterima kasih terhadap karunia Amida Butsu.
Bagi orang yang mengikuti ajaran Sinran ini dengan sungguh-sungguh, menurut Shinran sendiri, raut mukanya akan mengekspresikan wajah yang penuh ketenangan, kesabaran, kepasrahan, dan penuh rasa syukur. Akan tetapi paradoksnya, yang dimaksudkan oleh Shinran bukanlah merupakan pencerminan dari sikap manusia yang "fatalis" atau menyerah kepada nasib. Melainkan justru di balik ketenangan dan kepasrahan itu tersimpan suatu energi dan semangat untuk memperoleh kehidupan duniawi yang wajar, selaras dengan hakckat manusia yang bonno gusoku (tidak bisa melepaskan diri dari keinginan dan nafsu-nafsu keduniawiaan), tetapi tidak kehilangan kendali diri untuk selalu yakin dan pasrah terhadap datangnya penyelamatan dari Amida Butsu sesuai dengan janji atau sumpah-Nya, bahwa kelak mereka akan terlahir kembali di bumi suci.