ABSTRAKPembunuhan pada hakekatnya bertentangan dengan norma hukum dan norma agama, serta membahayakan bagi penghidupan dan kehidupan masyarakat. Meskipun demikian tetap saja ada sebagian anggota masyarakat yang melakukan tindak kejahatan tersebut. Dan ironisnya minat para pemerhati masalah-masalah sosial di Indonesia untuk mengkaji fenomena pembunuhan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat nampak masih kurang. Padahal sebagai fenomena sosial, pembunuhan merupakan topik yang sangatlah menarik dan perlu dikaji secara luas dan mendalam. Kenyataan inilah yang mendorong penulis untuk mengangkat permasalahan tersebut sebagai topik dalam penelitian ini.
Telaah teoritis mengacu kepada teori pembunuhan sebagai transaksi yang disengaja karya David F. Luckenbill sebagai kerangka pemikiran utama. Sedangkan gagasan Lonnie H. Athens dan Marvin E. Wolfgang sebagai teori penunjang.
Metode, tipe dan pendekatan penelitian yang digunakan untuk dapat memahami obyek yang menjadi sasaran penelitian adalah metode studi kasus, dengan tipe penelitian deskriptif dan menggunakan pendekatan kualitatif. Agar data dapat terkumpul sesuai dengan yang diharapkan, maka digunakan beberapa cara pengumpulan data, antara lain adalah dengan wawancara mendaiam dan studi kepustakaan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap empat puluh dua pelaku pembunuhan yang saat ini sedang menjalani masa pidananya di beberapa Lapas yang menjadi lokasi penelitian (yaitu : Lapas Cipinang Jakarta, Lapas Bogor, Lapas Anak, Lapas Pemuda dan Lapas Wanita Tangerang) diperoleh garnbaran bahwa pelaku pembunuhan umumnya pria, berusia dewasa, beragama Islam, etnis Sunda, belum menikah, berpendidikan rendah, bekerja sebagai buruh atau di sektor informal, tergolong pelaku pemula (first offender), melakukannya secara spontan.
Sedangkan korban pembunuhan umumnya pria, berusia dewasa, beragara Islam, etnis Sunda, sudah menikah, berpendidikan rendah, berprofesi sebagai preman.
Ditinjau dari elemen-elemen situasionalnya ditemukan bahwa motivasi para pelaku umumnya merupakan motivasi ekspresif yang muncul saat terjadi pertengkaran antar pribadi yang kian memuncak; mayoritas pembunuhan melibatkan kenalan, selebihnya melibatkan anggota keluarga sendiri dan orang asing 1 tidak dikenal sebelumnya; korban umumnya berperan aktif dalam interaksi; lokasi fisik yang paling berbahaya bagi terjadinya pembunuhan adalah di dalam rumah korban sendiri dan di jalanan umum serta tempat umum lainnya.
Peristiwa pembunuhan lebih sering terjadi pada malam hari. Senjata tajam seperti pisau, golok, badik dan clurit merupakan senjata yang paling umum digunakan pelaku untuk menusuk atau membacok korbannya. Senjata yang mematikan tersebut kebanyakan sengaja dibawa pelaku, namun ada Pula yang ditemukan di tempat kejadian atau direbut dari tangan korban. Peristiwa pembunuhan paling sering dilakukan dengan cara keroyokan. Sesaat sebelum peristiwa pembunuhan terjadi, umumnya baik pelaku ataupun korban diketahui habis mengkonsumsi alkohol dan/atau obat-obatan terlarang. Temuan ini menimbulkan dugaan bahwa alkohol atau obat-obatan terlarang inilah yang mempengaruhi atau merangsang pelaku dan korban sehingga menjadi lebih aktif (baca: agresif) dalam proses interaksi di antara keduannya.
Dari hasil analisis data terungkap bahwa peristiwa pembunuhan itu merupakan akibat dari suatu perselisihan atau konflik antar pribadi yang kian memuncak di antara pelaku dengan korban. Interaksi social yang berakhir dengan pembunuhan ini umumnya berlangsung dalam enam tahapan menurut urutan waktunya_ Temuan ini nampaknya relatif bersesuaian dengan kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini.
Tahap pertama menggambarkan bahwa proses interaksi tersebut umumnya dibuka (diawali) oleh korban (victim precipitated) dengan cara melakukan : serangan terhadap pelaku atau rnemprovokasi secara verbal atau isyarat fisik yang bemada penghinaan terhadap pelaku.
Menurut data yang terkumpul ditemukan bahwa tindakan korban tersebut di atas oleh pelaku umumnya ditafsirkan sebagai tindakan yang mengancam dan membahayakan jiwanya, dan seringkali juga dianggap sebagai penghinaan terhadap kehormatan dan harga diri pelaku. Kemudian dengan berlandaskan pada hasil interpretasi ini pelaku umumnya lalu menyusun rencana tindakan balasan (umumnya berupa tindak kekerasan) yang bersifat potensial, belum merupakan tingkah laku nyata. Rencana tindakan kekerasan oleh pelaku ini umumnya pada akhirnya direalisir dalam bentuk tindak kekerasan nyata pada tahapan interaksi berikutnya bila sikap dan perilaku korban tetap tidak dapat ditolerirnya Tahapan ini sering disebut sebagai tahapan kedua interaksi.
Pada tahap berikutnya, yakni tahap ketiga, pelaku benar-benar merespon provokasi korban demi menyelamatkan jiwa, ataupun harga diri dan kehormatannya. Respon pelaku umumnya berupa tantangan verbal yang menghina dan mengancam korban, dan terkadang juga dalam bentuk serangan fisik terhadap korban.
Tahap keempat, yang mencenninkan respon korban terhadap reaksi balik pelaku pada tahap sebelumnya, memperlihatkan bahwa korban umumnya menerima tantangan verbal ataupun serangan fisik pelaku dengan memberikan ekspresi verbal yang menantang balik maupun dengan melakukan serangan fisik berikutnya. Pada tahap ini tampak jelas bahwa audiens yang ada di sekitar tempat kejadian umumnya aktif mendukung matangnya perselisihan antara pelaku-korban hingga berakhir dengan pembunuhan.
Dengan adanya kesepakatan kerja secara implisit ataupun eksplisit antara pelaku dengan korban bahwa kekerasan merupakan cara yang paling tepat untuk menyelesaikan konflik di antara mereka dan adanya senjata serta dukungan dan audiens, maka pada tahap kelima ini, keduanya terlibat perkelahian nyata yang kemudian berakhir dengan kematian korban.
Tahap keenam yang merupakan tahap penutup interaksi menggambarkan bahwa setelah korban tewas umumnya pelaku melarikan diri, terlebih bila hubungan antara
korban dengan pelaku hanya sebatas kenalan apalagi orang yang tidak dikenalnya. Namun bila korban adalah sanak keluarganya sendiri umumnya pelaku segera menyerahkan diri kepada polisi. Pada tahap ini audiens pun umumnya segera melaporkan peristiwa pembunuhan yang terjadi kepada polisi,
Namun tetap harus disadari bahwa tahapan interaksi seperti ini tidak berlaku untuk kasus-kasus pembunuhan berikut ini : pembunuhan karena kekerasan kolektif primitif; pembunuhan yang bermotif politik; pembunuhan karena motif bayaran (yang dilakukan oleh pembunuh bayaran) dan pembunuhan dimana pelakunya mengidap kelainan jiwa, misalnya paranoids.