UI - Laporan Penelitian :: Kembali

UI - Laporan Penelitian :: Kembali

Citra Semar dalam Peta Sosial, Politik, dan Budaya Indonesia Masa Kini: Kajian atas Novel Semar Mencari Raga karya Sindhunata dan Drama Semar Gugat karya N. Riantiarno

M. Yoesoef; (Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 1998)

 Abstrak

ABSTRAK
Masyarakat Indonesia yang sedang membangun dan mengembangkan diri menjadi masyarakat modern dalam beberapa hat tidak melepaskan dirinya dari simbol-simbol dan idiom-idiom budaya. Pemanfaatan simbol dan idiom budaya dalam kehidupan modern cenderung dijadikan sebagai pengikat (hook) keterkaitan mereka dengan dunia masa lalu (nenek moyang) sebagai salah satu jati diri bangsa. Selain itu, simbol dan idiom budaya merupakan kekayaan budaya yang efektif untuk dipakai sebagai mnemonic terutama yang berkaitan dengan nilai moralnya.
Salah satu simbol atau idiom budaya yang kerap dipakai dalam upaya membangun manusia Indonesia adalah kesenian wayang purwa. Kesenian yang sarat dengan ajaran dan nilai-nilai luhur ini merupakan sarana multidimensional yang dapat dikatakan lengkap. Karakter tokoh-tokoh pewayangan merupakan satu simbolisasi dari watak manusia, cerita-cerita wayang merupakan pesan keteladanan untuk dihayati oleh masyarakat.
Pemanfaatan tokoh wayang pun ternyata tidak terbatas di daiam rangkaian ceritanya saja, tetapi ada kecenderungan pemanfaatan tokoh-tokoh wayang di luar cerita yang dipakai secara khusus oleh masyarakat untuk menghadirkan citra tertentu. Tokoh Semar, misalnya, muncut secara mandiri, yakni hadir sebagai merek dagang (batik Semar), sebagai jenis makanan khas Solo (semar mendem), sebagai akronim yang bersifat politis (supersemar), sebagai tempat menyimpan uang (celengan semar), bahkan sebagai ilmu pemikat wanita (semar mesem). Tokoh mistis ini kerap pula hadir dalam cerita-cerita mutakhir dalam bentuk novel atau drama, seperti yang dikaji dalam penelitian ini.
Kepopuleran tokoh Semar sebagai sebuah wacana tradisional tidak dapat diragukan lagi, karena pada tokoh ini tergambar suatu citra manusia-dewa yang menjadi representasi dari rakyat jelata, perpaduan dunia laki-laki dan wanita, kearifan manusia, pembimbing moral para ksatria, dan lain sebagainya. Namun, citra yang demikian itu lambat laun menjadi terkontaminasi akibat dari kepopulerannya itu. Artinya, kemunculan Semar tidak terbatas lagi pada kerangka wayang purwa, tetapi juga di dalam kehidupan modern sebagai simbol budaya modern. Pada keadaannya yang demikian, citra Semar tidak lagi utuh tetapi sudah mengalami perubahan makna sesuai dengan bentuk barang yang diperjualbelikan itu. Dengan demikian, telah terjadi massifikasi, proses pemassalan pada tokoh ini.
Dalam kaitan itulah, penelitian ini dilakukan, yaitu mengenai tokoh Semar yang telah mengalami massifikasi seperti yang tampak dari karya Sindhunata dan N. Rtiantiarno. Kedua karya tersebut sama-sama menampilkan tokoh Semar yang kehilangan identitas diri sebagai akibat dari perubahan citra dirinya di masyarakat, Sementara itu, satu karya lakon carangan Semar Mbabar Jatidiri karya Tim Delapan PEPADI Pusat menampilkan citra Semar yang sesuai dengan konvensi budaya, yakni sebagai pembimbing dan pengayom.
Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah dalam dua cerita Semar., Semar Mencari Raga dan Semar Gugat, digambarkan tokoh Semar yang dekaden. Ia kehilangan dan mempertanyakan jatidirinya. Massifikasi tokoh ini sebagai dampak dari popularitasnya di masyarakat. Dalam Semar Mencari Raga, Semar tidak ubahnya seperti botol yang dapat diisi oleh cairan apa saja. Hal itu berkaitan dengan raga Semar yang ditempati oleh roh-roh lain, sehingga begitu banyak wajah Semar. Kaitannya dengan masyarakat Indonesia saat ini, banyaknya wajah Semar (tokoh ini mewakili identitas rakyat jelata yang dekat dengan kesengsaraan sosial) di masyarakat identik dengan banyaknya kesengsaraan yang merebak. Dalam Semar Gugat, tokoh ini meminta keadilan atas perilaku ksatria yang menjadi momongannya, Arjuna. Arjuna telah memotong kuncung Semar --salah satu identitas diri Semar-- sehingga Semar merasa terhina dan peristiwa itu merupakan salah satu wujud simbolik dari kesewenang-wenangan para penguasa terhadap rakyat jelata. Pada Semar Mbahar Jatidiri, tokoh Semar hadir secara utuh dan membeberkan bagaimana mengamalkan dan menghayati Pancasila. Lakon ini sarat denngan pesan-pesan politik pemerintah.
Mitologi wayang dalam pembangunan budya, sosial, dan politik Indonesia tetap menjadi acuan pokok pemerintah Orde Baru. Hal itu disebabkan oleh kuatnya penghayatan elite politik kita (pemerintah) terhadap budaya Jawa.
Seringnya simbol dan idiom budaya dipakai dalam kehidupan sehari-hari menyebabkan berkurangnya makna simbolik dari simbol atau idiom tersebut. Massifikasi atas simbol dan idiom budaya tersebut merupakan salah satu akibat dari pengeksposan secara besar-besaran simbol atau idiom itu di masyarakat. Masyarakat tidak mempunyai jarak lagi dengan simbol dan idiom itu. Akibat lainnya, citra simbol atau idiom itu tidak bermakna lagi seperti seharusnya.

 Metadata

Jenis Koleksi : UI - Laporan Penelitian
No. Panggil : LP-pdf
Entri utama-Nama orang :
Entri tambahan-Nama badan :
Subjek :
Penerbitan : Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 1998
Sumber Pengatalogan LibUI ind rda
Tipe Konten text
Tipe Media computer
Tipe Carrier online resource
Deskripsi Fisik ii, 39 pages : illustration ; 28 cm
Lembaga Pemilik Universitas Indonesia
Lokasi Perpustakaan UI, Lantai 3
  • Ketersediaan
  • Ulasan
  • Sampul
No. Panggil No. Barkod Ketersediaan
LP-pdf 09-19-666887570 TERSEDIA
Ulasan:
Tidak ada ulasan pada koleksi ini: 76378
Cover