ABSTRAKBerbagai hal telah dilakukan pemerintah untuk menyiapkan negara Republik Indonesia memasuki Pembangunan Jangka Panjang Tahap II, setelah Penbangunan Jangka Panjang Tahap I dinilai cukup berhasil. Salah satu hal yang dianggap menjadi kunci keberhasilan pembangunan ialah sumber daya manusia yang harus berkualitas tinggi. Untuk itu telah disiapkan pula anggaran yang dipakai untuk pendidikan dan peningkatan ketrampilan manusia Indonesia pada umumnya.
Khusus dari kalangan intelektual diharapkan sumbangan dan masukan yang bermanfaat untuk mengisi pembangunan tersebut.Ini dapat dimaklumi karena kaum intelektual walaupun mencakup sebagain kecil dari kaseluruhan rakyat Indonesia, namun secara potensil justru memiliki peran strategis yang besar.
Namun sayangnya, pada saat ini juga muncul berbagai keluhan yang ditujukan terhadap calon intelektual, yaitu mahasiswa. Cukup banyak keluhan yang dilontarkan terhadap kualitas mahasiswa saat ini, tidak hanya pada mereka yang kuliah di perguruan tinggi swasta, tapi juga negeri, bahwa sikap mereka pada umumnya tidak kritis, bahkan cenderung apatis dan masa bodoh terhadap apa yang terjadi di dalam masyarakat. Beberapa penelitian di lingkungan Universjtas Indonesia menunjukkan dukungan terhadap gejala tersebut.
Chandra (1991) dan Napitupulu (1992) misalnya mendapatkan bukti bahwa sebagian mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Indonesia tidak pernah mengajukan satupun pertanyaan ke pada para pengajar, padahal bertanya adalah salah satu indikasi dari adanya sikap kritis. Ketika ditanyakan alasannya, subyek menjawab bahwa mereka tidak tahu apa yang harus ditanyakan. Kalaupun ada hal yang tidak dimengerti, lebih baik mereka mendiamkan hal tersebut, dan berharap tidak akan muncul pada ujian, daripada bertanya pada pengajar dan menemukan jalan keluar seperti yang seharusnya. Beberapa mahasiswa lainnya cukup berani untuk membahas tersebut dengan rekan kuliah walaupun belum pasti mendapatkan jawaban yang diinginkan.
Walaupun berbagai analisa bisa diberikan untuk meneliti akar dari masalah ini (misalnya penenuan SCU Mundandar, 1977, yang menemukan bahwa sistem pendidikan di Indonesia memang tidak melatih siswa untuk menjadi kreatif, hanya sekedar pasif mengikuti apa yang diperintahkan guru saja) tapi penulis mendekati masalah ini dari sudut yang berbeda.
Penelitian di bidang psikologi kognitif naupun psikolinguistik nembuktikan bahwa berpikir kritis bisa dilatih, pada orang yang sudah dewasa sekalipun (lihat misalnya penelitian Lehman & Nisbett, 1990). Bahkan Silalahi (1992) dan Djiwatampu (1993) berhasil membuktikan bahwa pelatihan proses kognitif berupa pengaktifan skemia bisa ditransfer dalam bidang bahasa, sehingga mampu meningkatkan pemahaman bacaan para subyek.
Pada kesempatan ini penulis mencoba menyusun modul pelatihan "Berpikir Kritis" dan sekaligus mencobakannya pada peserta kuliah Bimbingan Menulis tahun 1993 (sebanyak 72 orang) yang juga diasuh oleh penulis. Porsi berpikir kritis yang berkaitan dengan bahan kuliah Bimbingan Menulis adalah saat peserta diminta membuat tulisan yang bersifat argumentatif. Biasanya waktu yang tersedia untuk menyiapkan tulisan argumentatif adalah 3 pertemuan, tapi melalui modul ini disiapkan 12 pertemuan untuk membahas elemenelemen berpikir kritis sebelum akhirnya peserta diminta membuat tulisan argumentatif. Elemen-elemen berpikir kritis yang dijadikan topik bahasan adalah memahami pengertian klaim/pernyataan, memahami klaim, menilai kebenaran suatu klaim, jenis-jenis kesalahan berpikir, dan jenis argumen.
Dari hasil analisa kualitatif maupun kuantitatif terhadap prestasi peserta (yang diberikan sebagai pre-test dan post-test) ternyata bahwa pada akhir pelatihan (saat evaluasi), ditemukan peningkatan daya analisa peserta terhadap suatu tulisan argumentatif berbentuk paragraf. Selain itu, dibandingkan dengan peserta kuliah Bimbingan Menulis pada tahun-tahun sebelumnya, peserta pada tahun 1993 yang mendapatkan pelatihan ini berhasil membuat tulisan argumentatif yang lebih baik. Ini semua menunjukkan bahwa pelatihan "Berpikir Kritis" mampu meningkatkan kualitas ketrampilan kritis yang terutama diukur melalui kemampuan menganalisa tulisan dan kemampuan membuat tulisan argumentatif.
Cara lain yang dapat dipakai untuk meningkatkan hasil yang telah ditemukan adalah memperluas topik bahasan tentang jenis argumen, agar peserta betul-betul mahir menggunakan ketrampilan kritis yang dilatihkan, selain juga meneliti seberapa jauh ketrampilan yang telah diajarkan bisa ditransfer ke kegiatan lainnya di luar kuliah Bimbingan Menulis.