ABSTRAKAngka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia tercatat 3 - 6 kali lebih tinggi daripada AKI di negara-negara ASEAN yaitu lebih kurang 390/100.000 kelahiran hidup. Penyebab AKI selain yang bersifat klinis juga diduga karena 3 keterlambatan yaitu terlambat mengenali bahaya dan mengambil keputusan merujuk (Ease 1); terlambat mencapai fasilitas pelayanan kesehatan (fase 2); dan terlambat memperoleh pertolongan yang memadai di fasilitas kesehatan (fase 3), Keterlambatan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor sosial budaya antara lain adalah bahwa profil "calon almarhumah ibu" memiliki ciri kurang disayang suami (studi kasus kematian ibu di Jateng tahun 1985 dan di Jabar tahun 1995 dalam Depkes 1998). Tujuan penelitian ini adalah diketahuinya gambaran pengetahuan, persepsi dan perilaku suami dalam menjaga kesehatan kehamilan istrinya dan diketahuinya gambaran pengetahuan, persepsi dan perilaku suami dalam menjaga persalinan istrinya.
Penelitian ini bersifat kuantitatif menggunakan metode crosss sectional survey dengan analisa deskriptif. Populasi adalah seluruh suami pasangan usia subur (suami yang istrinya berusia 15-45 tahun) yang masih mempunyai balita, Sampel diambil secara random dengan jumlah responden minimal 40 orang di Desa Putatnutug, Kecamatan Parung yang mewakili daerah pedesaan dan 40 orang di Desa Padasuka, Kecamatan Ciomas sebagai daerah yang mewakili perkotaan.
Dari penelitian ini diketahui peran suami dalam menjaga kesehatan kehamilan dan persalinan telah cukup disadari oleh suami baik yang berdomisili di desa maupun di kota di Kabupaten Bogor. Peran tersebut disadari sebagai tanggung jawab suami untuk menjaga keseiamatan dan kesejahteraan keluarganya yaitu istri dan anak. Walaupun peran tersebut telah disadari, namun dari penelitian ini masih terlihat rendahnya pengetahuan suami, terutama di desa, terhadap tanda bahaya kehamilan dan kondisi ibu hamil risiko tinggi. Rendahnya pengetahuan suami tampaknya mempengaruhi sikap terhadap keinginan punya anak pada kondisi ibu risiko tinggi.
Dari penelitian ini juga terungkap masih kurang sesuainya beberapa sikap terhadap upaya menjaga kesehatan, yaitu pengetahuan suami terhadap perlunya antenatal care (ANC) bagi ibu hamil terlihat tinggi namun masih ada sikap "keberatan" bila ibu hamil mendapat ANC; juga masih ada ibu hamil yang tidak melakukan ANC. Hal lain, suami di pedesaan lebih memilih "dukun" sebagai penolong persalinan dan "rumah sendiri" sebagai tempat persalinan karena alasan kebiasaan setempat dan biaya. Juga terlihat masih kurang konsisten antara sikap dan tindakan suami di desa dimana suami menganggap "mencuci baju" sebagai pekerjaan rumah tangga yang berat bagi ibu hamil namun membiarkan saja istrinya mencuci baju pada kehamilan terakhir. Beberapa tindakan suami, terutama suami di desa, tercatat kurang aktif yaitu suami di pedesaan cenderung menyerahkan keputusan (apakah akan disuntik TT atau tidak; minum TTD atau tidak) pada istri karena menganggap istri lebih tabu yang dibutuhkannya. Suami di pedesaan juga jarang yang mengantarkan istrinya periksa hamil karena pemeriksaan kehamilan oleh bidan desa dilakukan di posyandu yang cukup dekat dari tempat tinggal ibu hamil tersebut. Sebaliknya dalam persentase yang relatif kecil (5-10%) suami (baik desa maupun kota) merasa perlu "memaksa" istri minum TTD atau suntik TT demi kebaikan ibu dan janinnya.
Seluruh suami kota dan 90% suami desa menyatakan bersedia segera membawa istri ke tempat rujukan bila saat persalinan terjadi kesulitan; sementara 7,5% suami desa menyatakan akan berpikir-pikir dulu karena masalah biaya. Biaya persalinan tampaknya menjadi masalah bagi suami pedesaan yang mayoritas bekerja di sektor informal; sementara hal sebaliknya yang terjadi pada suami kota yang mayoritas bekerja sebagai pegawai negeri atau swasta.