ABSTRAKMitos Dewi Sri adalah sebuah cerita kepercayaan rakyat yang sudah sangat tua atau lama. Mitos atau cerita Dewi Sri dikenal di kalangan masyarakat Jawa baik secara lisan maupun tertulis. Pada cerita lisan yang tersebar di kalangan masyarakat luas terdapat berbagai macam versi namun Intil ceritanya tetap sama. Bentuk penyebaran lainnya adalah secara tertulis dalam bentuknya naakah cerita. Dalam naskah--naskah lama cerita Dewi Sri tidak berdiri sendiri tetapi bergabung dengan atau termasuk dalam suatu bagian cerita yang besar, namun seperti halnya dalam cerita lisan inti ceritanya tetap sama.
Cerita Dewi Sri versi lisan dan tulisan ini memiliki satu keunikan jika diperhatikan secara seksama. Keunika tersebut terletak pada versi pengembangan garis besar ceritanya. Pengembangan versi cerita bertumpu pada sebelas hal. Pertama, Dewi Sri berasal dari kahyangan. Kedua, Dewi Sri istri Raden Sedana. Ketiga, Dewi Sri, memiliki kecantikan yang sempurna. Keempat, Dewi Sri sebagai istri Raden Sedana, menghadapi persoalan dengan raksasa Kala. Kelima, Dewi Sri dan Raden Sedana melarikan diri ke hutan untuk menghindari raksasa kala. Keenam, Dewi Sri dan Raden Sedana bersembunyi di hutan. Ketujuh, Dewi Sri dan Raden Sedana berjanji membalas budi rakyat yang telah menolong mereka berdua. Kedelapan, Dewi Sri dan Raden Sedana, akhirnya mati karena sakit. Kesembilan, setelah kematian Dewi Sri dan Raden Sedana dari tempat kuburnya muncul tanaman yang sangat berguna bag' manusia. Ke sepuluh, raksasa Kala eangat marah dan menjelma menjadi binatang perusak tanaman rakyat. Kesebelas, Dewi memohon pada dewata agar mau menolong rakyat. Pada bagian yang kesebelas ini versi pengembangan ceritanya banyak sekali.
Dewi Sri memang bukan mahluk manusia. Dewi Sri adalah mahluk supernatural dari Jenis perempuan. Kemudian menjelma ke bumi juga sebagai mahluk perempuan lagi, kebetulan juga dengan nama Sri. Dewi Sri membalas budi manusia yang menolongnya dengan cara meninggalkan tanaman yang berguna bagi umat manusia. Ketika sudah meninggalkan bumi kembali ke dunia supernatural, masyarakat mengenangnya dengan membuat kegiatan upacara. Kegiatan upacara mengenang jasa Dewi Sri ini, akhirnya berkembang menjadi kegiatan ritual budaya.
Sementara itu di sisi lain dalam masyarakat Jawa dikenal suatu konsep budaya yang sudah tertanam kuat, bahwa perempuan Jawa yang baik adalah perempuan yang mampu melaksanakan ma lima. Ma lima adalah konsep masyarakat Jawa tentang perempuan Jawa yang ideal, artinya seorang perempuan Jawa harus mampu, pertama, masak yaitu mengolah bahan makanan yang sehat untuk keluarganya. Kedua, masak yaitu merawat penampilan jasmaninya dengan baik agar tetap sehat. Ketiga, manak artinya melahirkan dan merawat anak-anaknya dengan baik. Keempat, mrantasi yaitu mampu mengatasi segala masalah dengan cekatan dan baik. Kelima manembah, yaitu menyembah kepada Tuhan dengan baik sesuai dengan ajaran agamanya. Konsep ini dikenal dan tertanam dengan baik pada setiap perempuan Jawa, baik itu yang berpendidikan tinggi maupun yang berpendidikan rendah.
Ketika situasi jaman berubah, konsep yang dikenal oleh masyarakat Jawa tidak mengalami perubahan. Tetapi keadaan fisik social masyarakat mengalami perubahan yang besar sesuai dengan menggelegarnya era industrialisasi di seluruh. Indonesia dengan pusatnya di Jawa. Kota besar selalu dipenuhi oleh kegiatan industri yang dilapisi oleh sarana sampingan yang selalu menarik perhatian orang untuk melihat. Akibatnya arus perhatian penduduk juga terarah pada keadaan ini. Banyak perempuan Jawa yang.ikut suaminya atau keluarganya masuk ke kota. Sementara tinggal di kota persoalan yang dihadapi tidak lama seperti ketika di desa.
Keadaan ini tidak menimbulkan perubahan yang banyak bagi perempuan Jawa yang sudah mengenal konsep ma lima. Satu dari kelima unaur konsep ma lima yang dianggap dapat membantu keluarga dalam memecahkan kesulitan hidup di perkotaan adalah ma yang keempat yaitu mrantasi. Wujud nyatanya dilakukan dengan melanjutkan tradisi berjualan rempah-rempah. Jika di desa hal ini dilakukan dengan cara yang sangat sederhana, maka di kota perempuan Jawa yang berjualan rempah-rempah melakukannya dengan dipandu oleh suatu pemikiran yaitu harus mendapatkan keuntungan nyata secara ekonomis, karena hal ini sangat berarti banyak bagi keluarganya.
Situasi selanjutnya adalah perempuan Jawa yang tinggal di daerah perkotaan dan berjualan rempah-rempah di pasar. Pertama, perempuan Jawa yang berjualan rempah-rempah di pasar pada ummnya memang menikmati pendidikan formal yang sangat terbatas. Tetapi dalam kegiatan sehari-hari di lingkungan rumah-tangga mereka, mereka mendapat pendidikan informal yang terns menerus. Jadi secara tidak langsung mereka memiliki satu pengetahuan tentang keperluan rumah-tangga, dalam segi tertentu misalnya untuk segi ramuan tradisional, seperti kecantikan dan kesehatan. Kedua, pengalaman berjualan membantu meningkatkan pemahaman mereka terhadap maters rempah-rempah yang
diperdagangkan. tetapi hal ini sekaligus merupakan malapetaka yang berujung saringan nasib dan rejeki bagi mereka. Maksudnya bagi perempuan Jawa yang berjualan rempah-rempah sebagai pemula Bering terjadi, mereka tidak mampu mengelola barang dagangannya dan akhirnya tidak mampu berjualan lagi karena kehabisan modal.
Ketiga, dart basil situaai ini perempuan Jawa yang mampu bertahan adalah pereempuan Jawa yang bernasib balk mampu nnenemukan jalan keluarnya. Misalnya dengan mengurangi volume maters dagangan tetapi meragamkan materi dagangan. Terutama materi dagangan yang mampu bertahan hingga satu bulan lebih. Dengan cara demikian mereka berharap agar mereka dapat memperpanjang waktu penjualan dan masih dapat melakukan transaksi dagang, Berta memperkecil resiko kerugian akibat materi menjadi busuk.
Keempat, situasi ini membuat perempuan Jawa berada pada satu keadaan yang sangat menjepit. Di satu sisi mereka harus membantu memenuhi kebutuhan keluarga. Di nisi yang lain pengetahuan mereka secara formal sangat minim. Situasi ini menggiring perempuan Jawa pada satu titik pandang bahwa kegiatan yang mereka lakukan ini harus dapat dipertahankan dan sekaligue dapat memberikan jalan keluar bags" pemehuhan - kebutuhan rumah-tangga.
Kelima, sesuatu yang harus dipertahankan ini bagi perempuan Jawa yang berjualan rempah-rempah di pasar, bukan hanya dihitung secara kemampuan berfikir tetapi juga harks-ada pemberian dart Tuhan Yang Maha Kuaaa. Dengan kepasrahan ini, perempuan Jawa berusaha memohon kepada Tuhan agar diberi peruntungan yang balk. Hal ini mengingatkan mereka kepada Dewi Sri yang telah memberikan kemammuran pada manusia.
Dari situasi yang terus menerus mengalami perubahan akhirnya terjadi suatu keadaan yang menggiring pada suatu ?pandangan masyarakat bahwa perempuan Jawa yang ideal adalah perempuan Jawa yang mampu mrantasi. Artinya tidak hanya sebagai ibu rumah-tangga, tetapi juga mampu membantu menutupi keperluan rumah-tangganya dengan bekerja di luar rumah.