Pemerintah Indonesia pada 25 Maret 1992 silam telah mengeluarkan kebijakan penghentian bantuan Belanda setelah sekian lama berusaha keras menahan diri dari rasa ketersinggungannya terhadap sikap dan tindakan-tindakan Belanda yang ingin menggunakan "politik pemberian bantuan" untuk mengintimidasi Indonesia dengan cara mengaitkan bantuan dengan masalah pelaksanaan HAM di Indonesia. Ada beberapa faktor yang dipandang mempengaruhi proses pembuatan kebijakan pemerintah tersebut, yakni politik domestik (insiden Dili 12 November 1991 dan peran individual Presiden Soeharto) dan politik eksternal internasianal (tuntutan global HAM).
Pembahasan secara eksplanatif dilakukan dengan menggunakan kerangka teori foreign policy making-process. Menurut Roy C. Macridis (1979), terdapat aktor-aktor the governmental agencies dan the non-governmental agencies dalam suatu proses pembuatan kebijakan, sementara Graham T. Allison (1971) berpendapat bahwa untuk menganalisis suatu proses pembuatan kebijakan luar negeri antara lain dapat digunakan rational policy model. Proses pembuatan kebijakan itu sendiri secara teoritik sangat dipengaruhi oleh adanya faktor politik domestik dan eksternall internasional. Masalahnya sekarang ialah perbedaan kedua faktor tersebut kini semakin mengabur seiring dengan semakin memudarnya batas-batas negara di era global dewasa ini. Oleh karenanya untuk menganalisis bagairnanakah pertautan antara kedua faktor politik ini, dapat digunakan teori linkage yang dikemukakan James N. Rosenau (1980). Di samping faktor politik domestik dan ekternall internasional tersebut, menurut Rosenau, terdapat pula variabel individu decision-maker seperti Kepala Negaral Pemerintahan, khususnya mengenai image, persepsi, dan karakteristik pribadinya yang menentukan corak politik luar negerinya. Variabel individu ini biasanya terlihat pada gaya kepemimpinan yang khas dari decision-maker tersebut yang umumnya sangat bersifat personal.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data primer berupa wawancara mendalam dan studi kepustakaan. Hasil penelitiannya sendiri menunjukkan bahwa proses pembuatan kebijakan luar negeri tersebut sangat ditandai oleh berperannya aktor-aktor the governmental agencies khususnya Presiden Soeharto dan para menterinya yang terkait: Menteri Luar Negeri, Ali Alatas dan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi Keuangan dan Industri dan Pengawasan Pembangunan (Menko Ekuin-Wasbang), Radius Prawiro. Adapun koordinasi di antara instansi pemerintah itu sendiri sepenuhnya berada di tangan Presiden Soeharto selaku chief diplomat politik luar negeri Indonesia. Dengan demikian variabel individu Presiden Soeharto memang sangat besar pengaruhnya terhadap proses pembuatan kebijakan tersebut. Hal ini terbukti dari pendapat para informan bahwa kebijakan tersebut semata-mata lebih disebabkan oleh adanya ketersinggungan Presiden Soeharto terhadap sikap dan ulah J.P. Prank --Menteri Kerjasama Pembangunan Internasional Belanda yang juga adalah ketua IGGI ketika itu- yang acapkali mengancam akan menghentikan bantuannya sehubungan dengan pelaksanaan HAM di Indonesia yang dinilainya buruk. Tuntutan HAM yang mengglobal ini memang telah menjadi tolok ukur keberhasilan/kegagalan pembangunan yang dibiayai dana-dana bantuan luar negeri. Akan tetapi dalam kasus ini ternyata Indonesia (Presiden Soeharto) tegas-tegas telah menyatakan sikap penolakannya terhadap setiap upaya yang ingin menggunakan bantuan sebagai alat politik, sehingga keluarlah keputusan pemerintah Indonesia yang menolak segala bentuk bantuan Belanda sekaligus menandai dibubarkannya forum IGGI.