UI - Tesis Membership :: Kembali

UI - Tesis Membership :: Kembali

Kebijakan pengelolaan cendana di Nusa Tenggara Timur: Kajian awal tentang kebudayaan birokrasi pemerintahan daerah

Bediona Philipus; Meutia Farida Swasono, supervisor; Tapi Omas Ihromi, supervisor; Iwan Tjitradjaja, supervisor; Bennet, Christopher P.A., examiner; Anto Achadiyat, examiner (Universitas Indonesia, 1998)

 Abstrak

Birokrasi dan kebijakan pemerintahan merupakan dua pranata masyarakat modern yang semakin rnendominasi kehidupan masyarakat di Indonesia. Keberadaan dan peran birokrasi pemerintahan berkembang sejalan dengan peran negara dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Keberhasilan pembangunan ekonomi telah menempatkan birokrasi pada posisi yang dominan. Dominasi birokrasi pemerintahan terwujud dan terekspresi terutama dalam kebijakan yang dihasilkannya. Kebijakan merupakan instrumen yang digunakan secara luas dan intensif oleh birokrasi pemerintahan dalam melakukan pengaturan-pengaturan atas berbagai aspek kehidupan masyarakat. Sifat pengaturanpengaturan tersebut bervariasi sesuai dengan visi, pandangan yang dianut, dan missi yang diemban oleh birokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Bervariasinya bentuk dan sifat pengaturan-pengaturan yang dikeluarkan birokrasi melahirkan akibat dan risiko yang juga bervariasi pada masyarakat.
Eratnya kaitan antara birokrasi dan kebijakan yang dihasilkannya memberikan inspirasi pada penelitian ini, bahwa kebijakan dapat dijadakan ?jendela? untuk memandang, mempelajari organisasi birokrasi. Kajian terhadap substansi dan proses kebijakan dapat mengungkapkan apa dan bagaimana kebudayaan birokrasi. Kebudayaan birokrasi dimaksudkan sebagai nilai, visi, pandangan dan persepsi yang melandasi praktik-praktik birokrasi, hubungan kekuasaan, kontrol dan kompetisi antara birokrasi dengan masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya yang tersedia.
Kebijakan pengelolaan Cendana di NTT merupakan suatu bentuk kebijakan di bidang pengelolaan sumberdaya hutan yang melahirkan dampak sosial ekonomi yang tidak menguntungkan kehidupan masyarakat lokal di Timor, dan dampak ekologis yang mengancam kelestarian Cendana Kebijakan pengelolaan Cendana menempatkan masyarakat lokal sekedar sebagai pekerja upahan dalam pengelolaan dan pemanfaatan Cendana Satu-satunya hak masyarakat lokal yang diakui adalah hak atas upah, danlatau bagi basil. Sebaliknya Birokrasi Pemerintahan Daerah NTT diberi kewenangan yang lugs, baik sebagai penguasa dan pemilik tunggal atas Cendana, maupun sebagai satu-satunya pengusaha dalam proses produksi dan distribusi Cendana.
Kecenderungan ke arah monopoli pengelolaan Cendana dilatari oleh pertirnbangan ekonomi-politik dan sosial. Penempakan diri Pemda sebagai penguasa dan pengusaha tunggal dalam pengelolaan Cendana, di samping berakar pada sejarah pengelolaan cendana masa raja-raja Timor dan pemerintah kolonial Belanda, juga digerakkan oleh keinginan Birokrasi Pemda untuk mendapatkan sumber keuangan tetap bagi pembiayaan pembangunan daerah. Keterbatasan sumber dan potensi keuangan Birokrasi dalam membiayai pembangunan daerah pada satu sisi, dan besarnya pemasukan daerah yang bersumber dari Cendana pada sisi lain melahirkan keengganan birokrasi menanggalkan "priveleze" ekonomi politik atas Cendana. Ketidakpercayaan Birokrasi terhadap kemampuan masyarakat lokal mengembangkan pengelolaan Cendana secara lestari merupakan alasan lain mengapa Birokrasi tetap mempertahankan monopoli pengelolaan dan pemanfaatan Cendana.
Model pengelolaan Cendana ini memberikan gambaran hipotetis tentang nilai-nilai yang melandasi praktik-praktik hubungan kekuasaan antara birokrasi pemerintah dan masyarakat, serta nisi, pandangan, dan persepsi Birokrat tentang masyarakat lokal, sumberdaya hutan (Cendana) dan hubungan antara masyarakat dengan sumberdaya hutan. Pertama, masih kuatnya pola hubungan "atasan dan bavvahan", atau "patron dan klien" antara birokrat dengan masyarakat. Birokrat cenderung memposisikan dirinya sebagai "atasan" atau "patron" yang mempunyai kekuasaan dan kewenangan penuh pada masyarakat. Sebaliknya, masyarakat lokal ditempatkan dalam posisi sebagai "bawahan" atau "Klien", yang secara mullah dapat dikendalikan, dirnobilisasi, dan dimanfaatkan demi kepentingan birokrasi. Pola hubungan seperti seperti ini menggambarkan hubungan kekuasaan yang tidak berimbang antara birokrasi pemerintahan daerah dan masyarakat. Sentrainya kedudukan Birokrasi dalam proses pengambilan keputusan memberikan peluang kepada Birokrat melahirkan kebijakan pengelolaan Cendana yang menjawabi aspirasi dan kepentingan birokrat. Kontrol Birokrasi Pusat melalui mekanisme Peraturan Daerah tidak efektif. Terjadi semacam negosiasi implisit. Birokrasi Pusat membiarkan berlangsungnya praktik monopoli Cendana sebagai "politik jaian damai" untuk mengamankan sumber-sumber penerimaannya sendiri yang menyebar di daerah.
Kedua, Kuatnya inkrementalisme dan konservatisme dalam birokrasi kebijakan pengelolaan Cendana. Hampir tidak terjadi perubahan kebijakan yang berarti dalam 40-an tahun sejarah kebijakan pengelolaan Cendana di NTT. Birokrat enggan untuk melakukan perubahan serta pambaruan terhadap kebijakan yang telah mapan secara ekonomi dan politik. Orientasi kepada kemapanan inilah yang ikut melemahkan keinginan Birokrat melakukan pembaruan kebijakan. Kondisi ini menjadi petunjuk tentang cenderung diabaikannya dampak serta implikasi ekologis, sosial dan ekonomis dari kebijakan pengelolaan Cendana, dan rendahnya komitanen birokrasi daerah terhadap konservasi dan pelestarian Cendana, serta kesejahteraan ekonomi masyarakat lokal.
Ketiga, Inkonsistensi Birokrasi dalam mengembangkan manajemen pengelolaan Cendana yang efisien dan lestari. Kepentingan Birokrasi menjadikan Cendana sebagai summer keuangan daerah masih berorientasi ke masa kini (terbatas pads ekstraksi Cendana slam) dan kurang berorientasi ke masa depan (menjadikan Cendana sebagai sumber penerimaan yang lestari). Inkonsistensi sikap Birokrasi dalam mengembangkan efisiensi pengelolaan Cendana terlihat dalam prioritas-prioritas yang dibuat Birokrasi. Birokrasi cenderung lebih mengutamakan eksploiitasi daripada konservasi. Kepentingan konservasi sering dikalahkan oleh kepentingan eksploitasi. Penetapan jatah tebang tahunan sering lebih mengacu kepada target penerimaan daerah (PAD) daripada mengacu kepada data basil inventarisasi Cendana. Demikianpun monopoli birokrasi dalam pengelolaan Cendana, meskipun berdampak disinsentif terhadap pengembangan Cendana secara lestari Birokrasi tetap enggan untuk meninggalkannya.

 File Digital: 1

Shelf
 T5598-Bediona Philipus.pdf :: Unduh

LOGIN required

 Metadata

Jenis Koleksi : UI - Tesis Membership
No. Panggil : T-Pdf
Entri utama-Nama orang :
Entri tambahan-Nama orang :
Entri tambahan-Nama badan :
Program Studi :
Subjek :
Penerbitan : Depok: Universitas Indonesia, 1998
Bahasa : ind
Sumber Pengatalogan : LibUI ind rda
Tipe Konten : text
Tipe Media : computer
Tipe Carrier : online resource
Deskripsi Fisik : ix, 165 pages : illustration ; 30 cm + appendix
Naskah Ringkas :
Lembaga Pemilik : Universitas Indonesia
Lokasi : Perpustakaan UI, Lantai 3
  • Ketersediaan
  • Ulasan
  • Sampul
No. Panggil No. Barkod Ketersediaan
T-Pdf 15-18-774638246 TERSEDIA
Ulasan:
Tidak ada ulasan pada koleksi ini: 77268
Cover