Kebijaksanaan luar negeri Amerika dalam menghadapi krisis Teluk merupakan produk dari suatu proses pengambilan keputusan yang pada dasarnya didahului oleh konflik kelembagaan antara Presiden dan Kongres. Krisis tersebut bermula dari invasi irak atas Kuwait yang berakhir melalui proses penyelesaian dengan cara kekerasan yaitu perang. Permasalahan utama di dalam penelitian tesis adalah berkenaan dengan penggalangan Amerika pada periode pemerintah Presiden Bush yang menghasilkan kebijaksanaan melakukan perang (war policy), ditinjau dari perspektif Amerika yang dilihat pada dua dimensi, yaitu domestik dan eksternal.
Dimensi domestik Amerika ditekankan pada hubungan kepentingan politik dan kepentingan militer yang mempengaruhi proses dan hasil (output) pengambilan kebijaksanaan luar negeri serta adanya kendala kelembagaan yang dihadapi Presiden Bush terhadap Kongres. Akibatnya sebagian kebijaksanaan yang dihasilkan mendahului persetujuan Kongres, seperti pengiriman pasukan ke luar negeri dan penambahan jumlah pasukan Amerika. Termasuk kebijaksanaan yang berkenaan dengan pernyataan perang (war policy) diwarnai dengan adanya konflik kelembagaan meskipun pada akhirnya konsensus dapat dicapai.
Untuk memecahkan pokok permasalahan di dalam tesis ini digunakan teori Elit Politik dari C. Wright Mills yang pada intinya menyatakan bahwa setiap kebijaksanaan nasional yang dihasilkan dibuat oleh sekelompok kecil individu yang terdiri dari tiga kategori, yaitu birokrasi, pejabat militer dan elit ekonomi. Di dalam tesis ini peran elit ekonomi tidak memiliki pengaruh langsung atau menonjol atas kebijaksanaan yang dihasilkan, namun pada kategori birokrasi dan pejabat militer menunjukkan bukti yang kuat atas pengaruh langsung tersebut. Kategori birokrasi itu ditunjukkan dengan adanya konstelasi hubungan dan peran antara Presiden Bush dengan Kongres.
Sedangkan kategori pejabat-pejabat militer terpusat pada tingkat inner circle yang ada disekitar Presiden terutama yang berkaitan dengan mekanisme pengambiian keputusan. Pada tingkat inilah faktor-faktor pengalaman dan psikologis Presiden Bush sangat berpengaruh terhadap upaya penggalangan Amerika dalam Perang Teluk tersebut. Pengalaman politik yang luas menyebabkan ia memiliki hubungan erat dengan para pemimpin dunia, sehingga mempermudah membujuk mereka membentuk Pasukan Multinasional (multinational Forces) di luar kerangka pasukan PBB, melalui pembicaraan jarak jauh secara langsung (hot-line). Faktor psikis seperti adanya hambatan kelembagaan dengan Kongres yang dikuasai mayoritas Demokrat dan minoritas Republikan yang beraliran konservatif, menghasilkan kebijaksanaan tanpa persetujuan Kongres. Selain itu ketidakmampuan mengatasi masalahmasalah penting di dalam negeri terutama perekonomian Amerika, menyebabkan Presiden Bush memanfaatkan Perang Teluk sebagai alat politik untuk meraih dukungan publik dalam rangka kampanye pemilihan presiden periode kedua.
Pada dimensi eksternal yang dianggap "menguntungkan" terhadap segala risiko yang mungkin timbul dari kebijaksanaan pengiriman pasukan ke wilayah Teluk dan pernyataan perang Amerika, antara lain adalah memudarnya Uni Soviet sebagai musuh utama Amerika; ketergantungan Republik Rakyat Cina dalam mengatasi perekonomian dalam negeri dan adanya masalah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) menyusul peristiwa Tiannamen; serta ketersediaan beberapa negara untuk membiayai perang. Beban biaya perang yang tidak ditanggung sepenuhnya oleh Amerika merupakan salah satu alasan (economic reason) lahirnya kebijaksanaan perang.