ABSTRAKTujuan penelitian ini untuk mengetahui penyebab ketidak tuntasan secara utuh proses penyidikan Tindak Pidana Korupsi yang ditangani oleh Polda Metro Jaya. Ketidak tuntasan penyidikan ini akan berpengaruh pada tingkat produktifitas Satuan Reserse Tindak Pidana Korupsi serta kepastian hukum bagi masyarakat.
Secara faktual di dapatkan hubungan penyebab ketidak tuntasan ini dengan pemahaman Instansi Kepolisian dan Kejaksaan mengenai kewenangan penyidikan Tindak Pidana Korupsi yang terkesan "Tarik menarik". Hai ini dipengaruhi oleh konflik lama, kerancuan dan tumpang tindihnya beberapa peraturan per-Undang-undangan tertentu yang bertalian erat dengan Tindak Pidana Korupsi, usaha-usaha pihak Kejaksaan untuk mengambil alih basil penyidikan Polri, disamping tingkat Sumber daya manusia dan keterpaduan fungsi oprasional pendukung Satuan Reserse Tipikor yang memerlukan pemberdayaan.
Pemahaman kedua Instansi penegak hukum yang merupakan bagian dari sistem peradilan Pidana di Indonesia, berawal dari pasal 284 ayat (2) UU No.8 tahun 1981 tentang KUHAP, yang semula bersifat sementara namun berlaku hingga kini, yang kemudian menjadi semakin sulit dengan Iahirnya Keputusan Presiden RI No.31 tahun 1983 tentang BPKP dan Instruksi Presiden RI No. 15 tahun 1983 tentang Pedoman Pengawasan Melekat serta UU No.28 tahun 1997 tentang Kepolisian Negara RI.
Pelurusan secara proporsional materi peraturan per-Undang-undangan yang belum semestinya, dan alternatif pemecahan kewenangan penyidikan adalah merupakan upaya lebih memantapkan penanggulangan Korupsi yang cukup memprihatinkan Bangsa Indonesia saat ini.