Tesis ini merupakan laporan penelitian tentang Bantuan Hukum di Indonesia yang merupakan suatu hak asasi manusia dan bukan merupakan betas kasihan, penelitian ini bertujuan untuk memberikan informasi bagi masyarakat, pemerintah dan para penegak hukum bahwa Bantuan Hukum berhak diperoleh oleh siapa saja yang memerlukannya termasuk orang miskin.
Penelitian bersifat deskriptif analitis yaitu penelitian yang menggambarkan atau menyajikan data yang akurat, yang diperoleh secara lengkap mengenai konsepsi dari bantuan hukum di Indonesia dengan meneliti data sekunder berupa literatur-literatur, teori-leori, dokrin-dokrin, perundang-undangan atau peraturan-peraturan serta konvensi-konvensi Internasional yang berkaitan dengan bantuan hukum.
Selanjutnya Penelitian empiris dilakukan berdasarkan pengalaman praktek di kantor Advokat dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat terutama yang tidak mampu, mempunyai persepsi yang keliru mengenai bantuan hukum. Bantuan hukum itu sifatnya membela kepentingan masyarakat terlepas dari latar belakang, etnisitas, asal-usul, keturunan, waras kulit, ideologi, kaya miskin, agama dan kelompok orang yang dibelanya. Terkonsentrasinya advokat dikota-kota besar menyebabkan masyarakat miskin yang sebagian besar tinggal di desa-desa tidak dapat memperoleh bantuan hukum secara wajar.
Tujuan gerakan bantuan hukum ini dapat dicapai dengan pencapaian sistem peradilan pidana yang terpadu, peningkatan pendidikan, profesionalisme dan gaji dari polisi, jaksa, hakim, pekerja pemasyarakatan dan advokat. Keberhasilan gerakan bantuan hukum sebagai gerakan konstitusional melindungi hak orang miskin akan dapat meredam potensi ledakan gejolak sosial dan keresahan sosial, selain itu keberhasilan gerakan bantuan hukum juga dapat mengembalikan wibawa hukum dan wibawa pengadilan yang telah terpuruk selama ini.
Dalam rangka memperbaiki keadaan sistem peradilan pidana perlu dipikirkan amandemen dari Undang-Undang No. 14 tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman agar sistem peradilan yang independen dan imparsial dapat tercapai.
Maksud perbaikan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 sebenarnya mengandung pesan dan makna yang lebih luas, yakni perbaikan dan perubahan atas Undang-Undang Dasar 1945, yaitu bahwa kekuasaan negara sebaiknya dibagi dalam kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Kekuasaan negara hendaknya dibatasi oleh hak asasi manusia agar negara tidak berbuat sewenang-wenang dan menyalah gunakan kekuasaannya terhadap individu.
Sebagai perbandingan di Amerika Serikal dari 3.500 organisasi bantuan hukum memperoleh dana US $ 350,000,000.00 per tahun dari pemerintah yang jumlahnya ditingkatkan sejak pemerintahan Presiden Jimmy Carter sampai sekarang. Dalam konteks Indonesia pemerintah belum mengalokasikan dana bantuan hukum yang memadai. Dari sekitar 300 organisasi bantuan hukum yang ada di Indonesia jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang berpenduduk 200 juta tentunya masih dianggap tidak sesuai, walaupun sebagian besar bantuan hukum tersebut berpraktik dan berfungsi seperti kantor advokat (penasihat hukum) serta menggalang dana dari klien atas jasa hukum yang diberikan padahal bantuan hukum itu sifatnya pro deo (demi Tuhan) tidak dipungut bayaran (fee) karena disediakan untuk orang miskin, dan oleh karena itu bersifat non komersial kecuali di pungut biaya unluk ongkos administrasi.
Menurut Pasal 34 UUD 1945 fakir miskin adalah menjadi tanggung jawab negara.Jadi, persamaan di hadapan hukum (equality before the law) dan hak untuk dibela advokat (access to legal counsel) adalah hak asasi manusia yang perlu dijamin dalam rangka pencapaian keadilan sosial yang merupakan salah satu cara untuk mengentaskan masyarakat dari kemiskinan, khususnya dalam bidang hukum. Selain itu dapat pula negara c.q. pemerintah mengimbangi kewajibannya untuk menyediakan penuntut umum atau Jaksa (public prosecutor) dengan juga menyediakan pembela umum (public defender).