Beberapa studi mengungkapkan bahwa membengkaknya sektor informal yang terjadi di kota-kota besar khususnya di negara berkembang seperti Indonesia disebabkan karena terbatasnya daya serap sektor modern atau formal terhadap angkatan kerja. Terbatasnya daya serap sektor formal atau modern ini karena tenaga kerja yang dibutuhkan adalah mereka yang mempunyai pendidikan dan keterampilan yang tinggi, padahal di lain pihak sebagian besar tenaga kerja Indonesia masih mempunyai pendidikan yang rendah. Akibatnya tenaga kerja yang tidak terserap di sektor formal terpaksa masuk ke sektor informal yang tidak membutuhkan persyaratan apa-apa seperti di sektor formal.
Dan asumsi tersebut, banyak pendapat yang membedakan sektor formal dan informal dari ciri-ciri sosial ekonomi dan demograti pekerjanya. Pekerja di sektor informal pada umumnya mempunyai pendidikan yang relatif rendah dibandingkan pekerja di sektor formal. Sebagian besar perempuan, dan dilihat dari usianya, rata-rata berusia tua serta mereka yang berstatus migran lebih banyak yang terserap dalam sektor ini. Selain itu dilihat dari jam kerja, kebanyakan pekerja di sektor informal bekerja dengan jam kerja yang sangat panjang, tetapi penghasilan yang mereka terima sangat rendah.
Dalam studi ini dengan menggunakan data Sakerti tahun 1993, beberapa ciri pekerja informal masih konsisten dengan penelitian sebelumnya, kecuali dilihat dari status migrasi, justru yang bukan migran cenderung bekerja di sektor informal. Selain itu dengan memperhatikan jam kerja, proporsi terbanyak adalah mereka yang bekerja dengan jam kerja kurang dari 25 jam seminggu. Dilihat dari penghasilan, yang memperoleh penghasilan antara Rp. 100000 sampai dengan Rp. 200000 sebulan cenderung berada di sektor informal, Bahkan proporsi responden yang mempunyai penghasilan kurang dari Rp.100000 sebulan, justru lebih banyak yang di sektor formal dibandingkan di sektor informal.
Dilihat dari tempat tinggal, proporsi terbanyak adalah mereka yang bertempat tinggal di pedesaan. Pekerja sektor informal yang di pedesaan ini, proporsinya lebih banyak perempuan. Dilihat dari usia, lebih banyak yang lansia. Sebagian besar tidak sekolah atau tidak tamat SD. Pada umumnya bertempat tinggal di luar pulau Jawa dan Bali, serta berstatus migran karena ingin mendapatkan pekerjaan di tempat tujuan. Proporsi terbanyak adalah meraka yang bekerja dengan jam kerja kurang dari 25 jam seminggu, dan penghasilan yang diperoleh pada umumnya antara Rp.100000 sampai dengan Rp.200000 sebulan.
Dilihat dari propinsi tempat tinggal, sebagian besar pekerja sektor informal berada di luar pulau Jawa dan Bali. Dilihat dari usia, pada umumnya adalah mereka yang berusia 65 tahun keatas. Sebagian besar perempuan. Kemudian bila dilihat dari tingkat pendidikan, kebanyakan pekerja sektor informal yang bertempat tinggal di luar pulau Jawa dan Bali ini, tidak sekolah atau tidak tamat SD. Pada umumnya berstatus bukan migran. Proporsi paling banyak adalah mereka yang bekerja dengan jam kerja kurang dari 25 jam seminggu, dan paling banyak menerima penghasilan antara Rp.100000 sampai dengan Rp.200000 sebulan.
Dilihat dari jenis kelamin, perempuan cenderung bekerja di sektor informal. Lebih banyak perempuan yang berstatus kawin. Hal ini terlihat baik di daerah perkotaan maupun di pedesaan. Jenis pekerjaan paling banyak dilakukan perempuan yang berstatus kawin di sektor informal adalah sebagai tenaga usaha penjualan, dan kebanyakan bekerja dengan jam kerja kurang dari 25 jam seminggu.
Dilihat dari segi umur, proporsi terbanyak diisi oleh mereka yang berusia 65 tahun keatas. Di perkotaan, pekerja sektor informal yang berusia 65 tahun keatas ini lebih banyak perempuan dibandingkan laki-laki, sedangkan di pedesaan sebaliknya. Jenis pekerjaan terbanyak dilakukan oleh mereka adalah sebagai tenaga usaha penjualan, kecuali yang bertempat tinggal di luar pulau Jawa dan Bali, lebih banyak yang bekerja sebagai tenaga usaha pertanian, perikanan, perburuan dan kehutanan. Dilihat dari pendidikan, di perkotaan, sebagian besar pekerja informal yang lansia ini tamat SLTP, sedangkan di pedesaan lebih banyak yang tamat SD. Laki-laki lebih banyak yang tidak sekolah atau tidak tamat SD, sedangkan perempuan lebih banyak yang tamat SD. Di pulau Jawa dan Bali, pekerja sektor informal yang lansia ini lebih banyak yang tidak sekolah atau tidak tamat SD, di luar pulau Jawa dan Bali justru lebih banyak yang tamat SLTP. Sebagian besar bekerja dengan jam kerja kurang dari 25 jam seminggu, kecuali untuk perempuan, di pulau Jawa dan Bali dan yang di pedesaan, kebanyakan bekerja dengan jam kerja antara 25 sampai 45 jam seminggu.
Penghasilan yang diterima oleh mereka yang bertempat tinggal di perkotaan relatif tinggi yaitu diatas Rp.200000 sebulan. Sedangkan di pedesaan, laki-laki maupun perempuan, di pulau Jawa dan Bali serta di luar pulau Jawa dan Bali, proporsi terbanyak adalah mereka yang menerima penghasilan antara Rp.100000 sampai dengan Rp.200000 sebulan.
Dilihat dari tingkat pendidikan, tanpa mengontrol variabel lain, kebanyakan pekerja sektor informal tidak sekolah atau tidak tamat SD. Bila dikontrol dengan variabel lain, lain-lain baik di perkotaan maupun di pedesaan atau di pulau Jawa Bali dan di luar pulau Jawa Bali, pada umumnya tidak sekolah atau tidak tamat SD, sedangkan perempuan, khusus di perkotaan atau di pulau Jawa Bali serta di luar pulau Jawa Bali lebih banyak yang tamat SD, tetapi khusus perempuan yang bertempat tinggal di pedesaan justru lebih banyak yang tamat SLTP.
Mereka yang tidak sekolah atau tidak tamat SD ini sebagian besar bekerja sebagai tenaga usaha penjualan. Pada umumnya bekerja dengan jam kerja kurang dari 25 jam seminggu, kecuali pekerja sektor informal yang berusia 65 tahun keatas, kebanyakan bekerja dengan jam kerja antara 25 - 45 jam seminggu. Penghasilan yang diterima, pada umumnya antara Rp.100000 - Rp.200000 sebulan, kecuali untuk perempuan, pekerja sektor informal yang tidak sekolah atau tidak tamat SD justru memperoleh penghasilan diatas Rp.200000 sebulan.
Dilihat dari status migrasi, tanpa memperhatikan variabel kontrol, yang bekerja di sektor informal sebagian besar adalah mereka yang berstatus bukan migran. Setelah memperhatikan variabel kontrol, di daerah perkotaan baik di pulau Jawa Bali maupun di luar pulau Jawa Bali, pekerja sektor informal yang berstatus bukan migran masih lebih banyak dibandingkan dengan yang berstatus migran dengan alasan apapun. Tetapi di pedesaan, baik di pulau Jawa Bali maupun di luar pulau Jawa Bali, yang berstatus migran karena alasan ingin mendapatkan pekerjaan baru karena tidak cukup lapangan kerja ditempat sebelurnnya terlihat lebih banyak.
Dilihat dari tempat tinggal, baik diperkotaan maupun di pedesaan, pekerja sektor informal yang berstatus bukan migran ini, lebih banyak perempuan dibandingkan laki-laki. Sebagian besar berusia 65 tahun keatas. Dilihat dari tingkat pendidikan, kebanyakan mempunyai pendidikan tidak sekolah atau tidak tamat SD, kecuali yang bertempat tinggal di pedesaan, proporsi paling banyak adalah mereka yang tamat SD.
Selanjutnya bila dilihat dari propinsi tempat tinggal, pekerja sektor informal yang berstatus bukan migran ini, yang bertempat tinggal di pulau Jawa Bali, lebih banyak perempuan, sebaliknya di luar pulau Jawa Bali, lebih banyak laki-laki. Sebagian besar berusia 65 tahun keatas dan mempunyai pendidikan tidak sekolah atau tidak tamat SD. Pada umumnya bekerja sebagai tenaga usaha penjualan, kecuali yang tamat SLTP keatas, justru lebih banyak yang bekerja sebagai tenaga usaha pertanian, perikanan, perburuan dan kehutanan.
Dilihat dari jam kerja, pada umumnya pekerja sektor informal bekerja dengan jam kerja kurang dari 25 jam seminggu. Pekerja sektor informal yang bekerja dengan jam kerja kurang dari 25 jam seminggu ini, sebagian besar bekerja sebagai tenaga usaha penjualan, kecuali yang mempunyai pendidikan tamat SLTP dan SLTA keatas, lebih banyak yang bekerja sebagai tenaga operator dan alat-alat angkutan.
Dilihat dari penghasilan, tanpa memperhatikan variabel kontrol, sebagian besar menerima penghasilan antara Rp.100000 sampai dengan Rp.200000 sebulan. Pekerja sektor informal yang menerima penghasilan antara Rp.100000 sampai dengan Rp.200000 sebulan ini, terlihat mengelompok pada hampir semua jenis pekerjaan seperti tenaga usaha penjualan, jasa, pertanian, tata usaha dan sejenisnya, produksi, pekerja kasar dan lainnya.
Setelah dilakukan analisa inferensial dengan menggunakan model logistik sederhana dan berganda untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi masuknya seseorang ke sektor informal, di temukan bahwa jenis kelamin tanpa dikontrol mempunyai pengaruh yang cukup berarti terhadap status pekerjaan, namun setelah di kontrol dengan variabel tempat tinggal menjadi tidak signifikan.
Umur dan Pendidikan merupakan variabel yang mempengaruhi seseorang memasuki pekerjaan di sektor informal, dengan atau tanpa di kontrol dengan variabel tempat tinggal. Dilihat dari status perkawinan, mereka yang berstatus kawin mempunyai resiko yang lebih besar untuk memasuki pekerjaan di sektor informal dibandingkan dengan mereka yang berstatus tidak kawin. Setelah di kontrol dengan variabel tempat tinggal, variabel status perkawinan dan interaksi antara status perkawinan dan tempat tinggal menjadi tidak signifikan.
Kemudian, dilihat dari status migrasi, tanpa mengontrol variabel lain, status migrasi mempunyai pengaruh yang cukup berarti terhadap masuknya seseorang kesektor informal. Mereka yang berstatus bukan migran mempunyai resiko yang lebih besar untuk masuk sektor informal dibandingkan dengan mereka yang berstatus migran karena alasan ingin mendapatkan pekerjaan di tempat tujuan dan karena alasan lain, sedangkan untuk migran yang pindah karena alasan ingin mencari pekerjaan bare karena tidak cukup lapangan pekerjaan di tempat sebelumnya tidak terdapat perbedaan proporsi yang bekerja di sektor informal dengan mereka yang berstatus bukan migran. Bila di kontrol dengan tempat tinggal, setelah mengeluarkan variabel yang tidak signifikan, di peroleh bahwa di perkotaan, resiko memasuki pekerjaan di sektor informal oleh mereka yang berstatus bukan migran lebih tinggi dibandingkan dengan yang berstatus migran. Di pedesaan juga terlihat hal yang sama, kecuali untuk migran yang pindah karena-alasan ingin mencari pekerjaan bare karena tidak cukup lapangan pekerjaan ditempat sebelumnya mempunyai resiko yang lebih besar untuk memasuki pekerjaan di sektor informal dibandingkan dengan yang bukan migran.
Melalui analisa inferensial dengan menggunakan model logistik penjumlahan, baik respondennya adalah mereka yang bekerja atau yang bekerja dan bertempat tinggal di daerah perkotaan atau yang bekerja dan bertempat tinggal di pedesaan hanya variabel pendidikan, umur, indikator status migrasi l yang merupakan faktor penentu masuknya seseorang ke sektor informal.
Dilihat dan nilai odd ratio diperoleh hasil sebagai berikut:
(a) resiko memasuki pekerjaan di sektor informal untuk mereka yang mempunyai pendidikan rendah lebih besar dibandingkan dengan mereka yang mempunyaipendidikan lebih tinggi, setelah memperhitungkan variabel bebas yang lain.
(b)resiko memasuki pekerjaan di sektor informal untuk mereka yang berusia lebih tua lebih besar dibandingkan dengan mereka yang berusia lebih muda, setelah memperhitungkan variabel bebas yang lain.
(c). resiko memasuki pekerjaan di sektor informal untuk mereka yang berstatus bukan migran lebih besar dibandingkan dengan mereka yang berstatus migran karena alasan ingin mendapatkan pekerjaan ditempat tujuan, setelah memperhitungkan variabel bebas yang lain.
Jadi dari sernua variabel bebas yang diduga mempunyai pengaruh terhadap variabel tak bebas status pekerjaan, ditemukan hanya umur dan pendidikan yang dianggap paling menentukan seseorang memasuki pekerjaan di sektor informal baik di perkotaan maupun di pedesaan.