Kemacetan lalu lintas di Jakarta saat ini sudah menjadi benang kusut yang sulit dicari ujung pangkalnya. Keadaan yang sudah berlangsung lama bahkan terus bertambah parah itu sepertinya tidak pernah diupayakan untuk diperbaiki. Korelasi antara jalan raya, kemacetan dengan kendaraan bermotor sangat kuat sekali. Pertambahan jaringan jalan ibarat deret hitung, sedangkan pertambahan kendaraan bermotor ibarat deret ukur, akibatnya semakin lama beban kota Jakarta semakin berat saja untuk bisa mengakomodasikan pertambahan kendaraan bermotor.
Sementara pertambahan kepemilikan kendaraan bermotor beroda empat tiap tahun meningkat pesat, tingginya arus urbanisasi, pesatnya perkembangan ekonomi di Jakarta, merupakan konsekuensi langsung yang mengakibatkan kemacetan-kemacetan dan bertambahnya kecelakaan di jalan raya.
Pemerintah dalam hal ini Pemda DKJ Jakarta, memberlakukan peraturan atau kebijakan perpajakan mengenai kepemilikan mobil pribadi lebih dari satu dengan dikenakan "Tarif Progresif PKB" dengan maksud selain untuk penerimaan juga mengurangi penggunaan mobil pribadi di jalan jalan raya dan faktor keadilan. Namun pada dasarnya ketentuan tersebut tidak seiring dengan paradigma perpajakan dan tidak sepaham dengan tiga unsur pokok sistem perpajakan. Sehingga dalam pelaksanaannya cukup lemah dan menjadi tidak efektif dan tidak efisien untuk dilaksanakan.
Oleh sebab itu, kebijaksanaan perpajakan tersebut tidak dapat dipertahankan lagi atau lebih baik dicabut sehingga untuk meningkatkan kinerja dari Samsat yang menangani PKB dan BBN-KB (baik dilihat dari sisi potensi dan penerimaannya) perlu adanya kebijaksanaan perpajakan yang merupakan reformasi sehingga lebih adil, jelas, sederhana dan ekonomis. Dan hal ini telah dilakukan oleh pemerintah melalui UU Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan PP Nomor 19 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah yang telah memperbarui kebijakan-kebijakan perpajakan tersebut.