Dua puluh tahun yang lalu industri Barat terkejut, kagum dan terpesona melihat kemajuan industri Jepang yang dengan cepat berhasil melakukan penetrasi ke pasar dunia. Produk industri otomotif dan elektronik Jepang seakan-akan tanpa terbendung membanjiri pasar dunia, ternnasuk ke negara-negara Barat yang justru merupakan pelopor dikedua bidang tersebut.
Krisis enerji dan resesi duniapun seakan-akan tidak berpengaruh terhadap laju pertumbuhan arus produk-produk Jepang memasuki berbagai negara, sementara industri di negara-negara Barat masih belum pulih sama sekali serta masih disibukkan oleh pengaruh yang menghancurkan industrinya dari situasi parah dalam ekonomi internasional.
Sekarang ini industri Jepang, setelah mengalami krisis pecahnya "gelembung ekonomi" (economic bubble) disekitar tahun 1988-1992, resesi yang cukup panjang dan kesalahan atas estimasi dalam penentuan arah perkembangan diberbagai sektor industri yang didominasi oleh MITI (Ministry of International Trade and Indutlri), nampak sedang menyusun kembali kekuatan dengan menempuh pola baru dalam struktur organisasi perusahaannya.
Kalau dua puluh tahun yang lalu kalangan industri dan akademik Barat bergairah untuk mempelajari apa sebenarnya sumber dari keunggulan industri Jepang terutama dari segi organisasinya, namun sebaliknya Jepang taus berkembang menurut jalur yang dipilihnya sendiri, yang terikat kuat dengan akarakar budayanya yaitu struktur masyarakatnya. Akar-akar budayanya ternyata dapat melahirkan ikatan erat antara birokrasi dan bisnis, yang oleh para peneliti Barat ditafsirkan sebagai "kolusi" antara birokrasi dan bisnis, dan yang kemudian menimbulkan kesan adanya mitos "Japan Incorporated," seperti anggapan tentang grup zaibatsu dan grup keiretsu?