Index harga saham gabungan (IHSG) yang merupakan indikator bursa di Bursa Efek Jakarta telah menunjukkan penurunan terus menerus sampai minggu kedua bulan Juni 1996 sebesar 14,570 point. Keadaan ini menyebabkan para Investor melakukan aksi penjualan secara besar-besaran sehingga terjadi over supply di Bursa Efek Jakarta.
Disisi lain investor menunggu adanya initial Public Offering (IPO) dari 8 (delapan) Perusahaan Publik dengan harapan dengan membeli saham -saham baru pada harga perdana dapat menjualnya di pasar sekunder dengan selisih harga yang cukup memadai.
Investor hanya akan membeli saham jika harga saham adalah lebih rendah daripada nilai intrinsiknya yaitu nilai sekarang dari seluruh penerimaan investor yaitu dividen yang diharapkan dan selisih harga saham yang terjadi pada waktu saham tersebut dijual dengan harga saham pada waktu saham tersebut dibeli sebagai capital gain yang didiskontokan pada tingkat bunga dengan risiko tertentu.
Tesis ini meneliti untuk melihat sejauh mana harga saham di Bursa Efek Jakarta telah mencerminkan nilai intrinsiknya. Dengan menggunakan dividen discount model (DDM) dari model Gordon pada pertumbuhan dividen perusahaan konstan yang dirumuskan sebagai :
Do (I+g) Dl
P6 = vQ = = dengan syarat k8 > g.
ks -g ks ?g
Berdasarkan asumsi bahwa faktor-faktor lainnya dianggap tetap, maka hipotesa kerja untuk penelitian tesis ini adalah:
Semakin besar dividen tunai yang diberikan emiten semakin tinggi harga saham di Bursa Efek Jakarta.
Semakin besar return yang diharapkan investor yang dicerminkan dengan beta sebagai risiko pasar semakin rendah harga saham di Bursa Efek Jakarta.
Semakin tinggi tingkat pertumbuhan dividen emiten yang di ukur dengan dividen per share (DPS) semakin tinggi harga saham di Bursa Efek Jakarta.
Hasil penelitian yang diperoleh dengan paket Statistical Analysis system 65A 5) menunjukkan bahwa :
Harga saham di Bursa Efek Jakarta belum sepenuhnya mencerminkan nilai intrinsiknya karena hanya terdapat 2 (dua) variabel yang memenuhi hipotesa hipotesa kerjanya yaitu dividen dan tingkat pertumbuhan dividen saja. dimana kedua independen variabel ini mempunyai hubungan positif dengan harga saham. Untuk variabel independen beta yang mewakili risiko pasar yang diharapkan mempunyai hubungan negatif ternyata mempunyai hubungan positif dengan harga saham.
Melihat hasil penelitian tersebut kemungkinan besar telah terjadi; kesalahan pengukuran dari variabel beta dan tingkat pertumbuhan dividen, atau asumsi penggunaan model tingkat pertumbuhan konstan dalam penelitian dengan model Gordon ini belum tentu dapat diterapkan untuk 100 Perusahaan publik yang diambil sebagai sampel. cemungkinan lain jika melihat pada adjusted R2 yang bernilai kecil sekitar 24,25% ` 39,30% terdapatnya faktor-faktor yang berpengaruh terhadap harga saham yang tidak dapat dikendalikan seperti : risiko politik, isu-isu politik, fluktuasi nilai tukar mata uang rupiah terhadap U.S. dollar, peraturan Pemerintah mengenai perpajakan, Adanya penjualan saham-saham emiten pada Perusahaan asing yang dianggap sebagai capital flight.