Thesis ini mempelajari reformasi internal TNI AD setelah kejatuhan rezim Soeharto pada bulan Mei 1998, khususnya pembentukan kembali Kodam Pattimura di Maluku dan Kodam Iskandar Muda di Nanggroe Aceh Darussalam pasca Gerakan Mei 1998. Bagi pihak TNI (TNI AD) program tersebut merupakan jawaban atas tekanan publik politik yang menghendaki TNI kembali ke barak. Namun pokok masalahnya adalah program tersebut tetap tidak memuaskan publik politik (kubu reformasi), karena disamping program ini lahir dari inisiatif TNI sendiri juga dinilai belum mampu menghapus keseluruhan praktek `dwifungsi ABRI' termasuk melikuidasi/merestrukturisasi Koternya. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa TNI AD justru menambah jumlah Kodamnya di tengah derasnya arus tuntutan likuidasi/restrukturisasi Koter TNI AD ? Bagaimana pelaksanaan fungsi sospol TNI AD dalam Koternya pasca Gerakan Mei 1998 ?
Teori yang diunakan dalam penelitian ini adalah teori konflik sipil-militer, `tentara pretorian', `tentara profesional', tentara revolusioner profesional, dan perang semesta (total war). Sementara metodologi penelitian meliputi empat aspek. Pertama, strategi penelitian `metode kasus komparatif. Kedua, pendekatan penelitian dan teknis analisis kualitatif. Ketiga, tipe penelitian deskriptif-eksplanatoris. Keempat, teknik pengumpulan data dengan wawancara mendalam yang dilengkapi dengan observasi terbatas terhadap fenomena sejenis di Kodam Jaya DKI Jakarta, serta studi dokumentasi dan kepustakaan. Secara garis besar penelitian ini memiliki dua keterbatasan. Pertama, keterbatasan dalam menjangkau pro-kontra di internal TNI (TNI AL dan TNI AU). Kedua, keterbatasan dalam komparasi praktek fungsi sospol di seluruh angkatan di TNI.
Temuan-temuan penelitian ini adalah pembentukan kembali Kodam Pattimura di Maluku dan Kodam Iskandar Muda di Aceh dilakukan atas pertimbangan khusus konflik aktual (Maluku; SARA dan Aceh; GAM) yang melanda kedua wilayah tersebut. Bagi TNI AD Kodam Bukit Barisan; meliputi Aceh dan Kodam Trikora; meliputi Maluku keduanya dinilai sudah tidak efektif dan efesien lagi dalam menangani konflik tersebut. Selain pertimbangan konflik penambahan Kodam juga didasarkan atas berbagai sebab-sebab internal dan ekternal TNI AD. Sebab-sebab internal TNI AD diidentifikasi ke dalam faktor profesionalisme, orientasi politik dan orientasi ekonomi. Sedang sebab-sebab eksternal TNI AD meliputi faktor rekomendasi kebijakan (formulasi politik dan format kebijakan) pemerintahan sipil dan faktor stabilitas politik dan keamanan dalam negeri.
Pasca Gerakan Mei 1998 tugas dan fungsi -Kodam-- Koter TNI AD masih menyentuh pelaksanaan fungsi sospol. Penyebab utamanya adalah karena dalam struktur Koter TNT AD masih terdapat fungsi non-militer; fungsi pembinaan teritorial (binter) yang dalam prakteknya dapat bermakna luas. Kebijakan TNI AD menambah Kodamnya menunjukkan kecenderungannya ke arah `pretorian populis' (mass pretorian) dan `moderator pretorian' untuk beradaptasi dengan pemerintahan sipil `model liberal' tuntutan reformasi, setelah terlebih dahulu beralih ke tipologi 'arbitrator army' untuk tetap sebagai `pasukan bedah besi' dengan sedikit berpartisipasi di pemerintahan (co-ruler).
Koter TNI AD pasca Gerakan Mei 1998 yang masih terbukti memiliki fungsi sospol menunjukkan bahwa konteslasi hubungan sipil-militer masih berlangsung. Hal ini tentu akan mempengaruhi proses pembangunan pemerintahan demokratis karena menghambat pembentukan institusi militer profesional sebagai syarat utamanya.
Kepustakaan : 74 buku, 11 dokumen, 2 makalah, 3 peraturan hukum, 35 surat kabar/majalah, dan 6 internet.
Territorial Command of Indonesian Army Post May Movement 1998: Case Studi the Reestablishment of Kodam Pattimura (Maluku) and Kodam lskandar Muda (Nanggroe Aceh Darussalam)This thesis examines the reformation of internal Indonesian Army (TNT AD) post Soeharto Rezime May 1998, especially the reestablishment of Kodam Pattimura and Kodam Iskandar Muda in post May 1998. There is public pressure for reforming the dual functions of Indonesian Military (Dwifungsi ABRI). In one hand, internal reformation is for restructuring Territorial Command of Indonesian Army. However, the qustion arises why the demand for restructuring of army brough more reestablishment of Kodam. Furthermore, then how the implementation of social and political functions of Indonesian army under the Territorial Command of Indonesian Army post May 1998.
This study use some theories on civil-military conflicts, pretorian military, professional military, professional revolutionary military and total war. The methodology of this study included 4 aspects: comparative studies, qualitative, descriptive-explanatory, using in depth interview and limited observation toward similar phenomenon in Kodam Jaya DKI Jakarta. Furthermore, this study has two fold, the limitation to achieve data on pro-contra in internal Indonesian Military (Navy and Air Forces), second, the limitation of comparative study in between Military Forces.
The result of research shows that the reason of reestablishment of Kodam Pattimura in Maluku and Kodam Iskandar Muda in Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) is because of the unresolved conflict in both areas. Thas is conflicts on religius bases in Maluku and independent movement (Gerakan Aceh Merdeka) in NAD. Kodam Bukit Barisan which has responsibility including NAD and Kodam Trikora for Maluku are not effective and efficient to solve conflicts problems in both areas. Other reason are the interest of TNI on professionalism, political and economic interest which is categorized as internal reason. Moreover, external included policy recommendations of the civilian government (as civilian supremacy in democratic state), political and security stabilities.
Post May 1998, one indicator of dual functions of Indonesian Military is the involvement of the Territorial Command of Indonesian Army (Kole. 7N/Al3) in social and political functions. The reasons are that the army still has a function in non military, such as territorial development. So, thus the reestablishment of the two Kodam shows that the military in Indonesia could be called `mass pretorian and `moderator pretorian to adapt with the civilian government which tends to used liberal model (the demand of reformation). So, there is the changing of typology of `arbitrator army' as `destroyer army' limited participations in government as coruler towards liberal model. in conclusion, this thesis on reestablishment of the Kodam shows that civil-military relation is still contested. It will influence of the development of democracy and become the obstacle of establish of professional army in Indonesia.
Refrences : 74 books, 11 documents, 2 articles, 3 legislations and 35 Newspapers/Magazines and 6 from internet