Tulisan ini merupakan suatu studi tentang proses perkembangan kebijaksanaan hukum pengaturan penguasaan tanah dan diferensiasi pedesaan di Bali. Bertolak dari keinginan memperoleh pemahaman yang lebih lengkap mengenai proses perkembangan kebijaksanaan hukum pertanahan di Bali tersebut, inti kajian studi ini, hendak mendiskripsikan bahwa kebijaksanaan hukum pengaturan penguasaan tanah dan pelaksanaan intensifikasi pertanian dipengaruhi lapisan-lapisan sosial-ekonomi berdasarkan pola-pola penguasaan tanah dalam menentukan bentuk diferensiasi sosial-ekonomi petani di Bali.
Beberapa masalah pokok yang hendak dikaji dalam Penelitian ini, adalah (1) bagaimanakah lapisan-lapisan sosial-ekonomi masyarakat petani mempengaruhi kebijaksanaan hukum pengaturan penguasaan tanah di pedesaan Bali? (2) bagaimanakah bentuk perubahan-perubahan pembentukan pelapisan sosial-ekonomi di pedesaan di Bali; yaitu khususnya berkenaan dengan terjadinya pelapisan sosial-ekonomi menurut pola-pola penguasaan tanah masyarakat petani di banjar Lepang?
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan bahwa di satu pihak hukum dapat berperan dalam mengatasi masalah-masalah penguasaan tanah dan di pihak lain kondisi sosial-ekonomi di pedesaan Bali berpengaruh terhadap pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Dalam studi ini dapat ditunjukkan terdapat korelasi kebijaksanaan hukum pengaturan penguasaan tanah dengan pembaruan pola-pola penguasaan tanah yang tidak dapat dipisahkan dari kenyataan-kenyataan politik, ekonomi dan kultural di Bali. Diferensiasi masyarakat di pedesaan Bali tidak memperlihatkan polarisasi tajam, yakni pemilik tanah kaya di satu pihak dan buruh tani tidak bertanah di pihak lain. Meskipun polarisasi nyata berdasarkan penguasaan tanah di banjar Lepang tidak dapat ditunjukkan, tingkat penyakapan yang tinggi dalam hubungan produksi menunjukkan petani tidak bisa semata-mata hidup dari tanah mereka sendiri.
Dapat disimpulkan, kehidupan sosial-ekonomi petani di pedesaan sejak dulu selalu menghadapi berbagai perubahan-perubahan kekuatan baik di tingkat lokal maupun supra-lokal yang bersifat eksploitatif terhadap kehidupan petani di Bali. Disarankan, pembangunan di sektor pertanian perlu mempertimbangkan peranan hukum dalam melakukan pembaruan di sektor agraria, untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga petani di pedesaan. Ketimpangan penguasaan tanah hendaknya menjadi target perbaikan penguasaan tanah di pedesaan dengan melakukan perubahan ketentuan perundang-undangan tentang penetapan luas maksimum pemilikan tanah, sehingga di pedesaan cukup tersedia tanah bagi mereka yang tidak mempunyai tanah, atau yang bekerja di atas tanah orang lain melalui perjanjian bagi hasil, sewa atau melalui hubungan produksi yang lain. Ketentuan perundang-undangan tentang larangan pemilikan tanah guntai yang lazim dijumpai di Bali, sudah waktunya dirubah. Penerapan hukum ketentuan peraturan perundang-undangan perjanjian bagi hasil sudah saatnya ditegaskan kembali.