Tesis ini menggunakan perspektif Realis untuk mengkaji fenomena kebijakan peacekeeping operations (PKO) Jepang. Perspektif ini mendasarkan pada beberapa asumsi pokok, yaitu: (1) konsekuensi dari sistem internasional yang anarki adalah bahwa tidak adanya otoritas utama yang dapat memaksakan penggunaan kekuatan atau menjamin perlindungan dari ancaman negara lain; (2) negara merupakan aktor utama (state actor) dalam politik internasional; (3) tujuan utama negara adalah keamanan (security), dan karena itu, motif utama yang mendasari perilakunya adalah mempertahankan atau mempertinggi kekuatan relatifnya terhadap negara lain; (4) kebijakan luar negerinya didasarkan pada adanya ancaman-ancaman dan kesempatan-kesempatan dari lingkungan eksternalnya, sehingga sistem internasional merupakan faktor yang menentukan dalam perilaku suatu negara dibanding karakteristik domestiknya; dan (5) para pemimpin negara merupakan aktor rasional (rational actor). Dalam konteks ini, Realisme menemukan pembenaran dalam menganalisa perkembangan-perkembangan di Asia Timur, khususnya Jepang. Kebijakan keamanan Jepang saat ini, dengan partisipasi aktif SDF dalam PKO PBB, dilihat sedang berupaya untuk menjadi suatu normal state dalam istilah Realis berarti suatu negara yang melihat kekuatan militer (military power) sebagal suatu fitur sentral yang diperlukan dari keseluruhan kemampuan nasionalnya, dan memandang politik kekuatan (power politics) sebagai fitur normal yang diterima dalam hubungan internasional.
Krisis Teluk menjadi moment yang sangat penting bagi Jepang dalam menentukan arah kebijakan luar negerinya berupa pengiriman SDF ke luar negeri dalam misi PKO PBB. Kebijakan PKO Jepang merupakan bentuk pragmatisme kebijakan luar negeri Jepang yang.dipengaruhi oleh setting eksternal dan desakan internal. Perubahan lingkungan strategis keamanan Asia Timur pasca Perang Dingin, ditandai dengan munculnya potensi ancaman sebagai akibat dari kemungkinan pengurangan pasukan Amerika Serikat dari kawasan Asia Pasifik, peningkatan kekuatan militer Cina, uji coba rudal balistik oleh Korea Utara, dan masih adanya konflik-konflik lain yang belum terselesaikan di kawasan. Sementara itu, tekanan Amerika Serikat (gaiatsu) pada Jepang untuk melakukan burden sharing semakin meningkat. Selain alasan yang terkait dengan struktur internasional, faktor domestik juga mendorong kebijakan PKO Jepang, yang ditunjukkan dengan perkembangan politik dalam negeri dan sikap publik Jepang yang membuka penafsiran terhadap Konstitusi Jepang untuk tidak menabukan pengiriman SDF untuk berperan lebih aktif dalam masalah-masalah keamanan internasional.
Kesimpulan dari Tesis ini menunjukkan bahwa kebijakan PKO Jepang merupakan salah satu pijakan dan indikator keinginan Jepang untuk menjadi normal state. Namun demikian, Jepang belum mencapai pada taraf normal state, tetapi masih dalam proses menuju ke arah normalisasi. Satu hal yang perlu ditegaskan adalah bahwa proses Jepang untuk menjadi normal slate tidak berarti menandakan bangkitnya kembali militerisme Jepang seperti di masa lalu.