Pembangunan sekarang ini selain mempunyai dimensi pertumbuhan, juga mempunyai dimensi yang melihat pembangunan sebagai suatu proses transformasi yang mengoptimalkan pemanfaatan potensi sumberdaya alam. Munculnya dimensi berkelanjutan ini dilatarbelakangi oleh mundurnya kearifan manusia dan keprihatinan umat manusia akan masa depannva sebagai akibat kurang berdayagunanya sumberdaya manusia dalam mengelola sumberdaya alam yang sebaik-baiknya dan penggunaan teknologi bagi upaya berbagai pembangunan. Oleh Soerjani (I995:3) dikatakan bahwa kemerosotan kualitas lingkungan itu disebabkan oleh penggunaan teknologi yang mencemari diikuti oleh konsumsi yang berkelebihan, kebijaksanaan pembangunan yang kurang serasi, pertambahan penduduk yang cepat serta masalah kemiskinan.
Permasalahan dalam pembangunan pertanian dan lingkungan hidup di Sub DAS Jeneberang Hulu adalah masalah lahan kritis dan dampaknya terhadap produktivitas pertanian serta manajemen dari lahan kritis tersebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji dinamika agroekosistem dan mengembangkan suatu konsep pendekatan agroekosistem dalam pemaniaatan sumberdaya lahan. Tiga model digunakan untuk mengkaji dinamika agroekosistem lahan kering, yaitu: i) model analisis daya tahan ekologis;2) model analisis kapabilitas agroekosistem;3) model analisis stabilitas agroekosistem.
Daya tahan ekologis agroekosistem lahan kering di Sub DAS Jeneberang Hulu secara kualitas akan semakin menurun. diakibatkan "Indeks Bahaya Erosi" (IBE>1) (Hamer, 1982:46) telah mencapai pada tingkat "sangat tinggi/ekstrim". Dari hasil analisis bahaya erosi terlihat pada lahan tegalan dengan luas areal 831 hektar menimbulkan total erosi 121.655 ton/ha atau rata-rata 146,40 ton/ha/tahun dan lahan sawah dengan luas areal 1.283 hektar menimbulkan total erosi I05.667,60 ton/ha/tahun atau rata-rata 82.35 ton/ha/tahun.
Tingginya laju erosi tersebut disebabkan oleh, (1) pemanfaatan lahan kering tidak sesuai dengan kemampuan lahan terutama pada kawasan Unit Lahan IV (Desa Bulutana) dan Unit Lahan VII (Desa Kanreapia). masing-masing berada pada tingkat kemiringan lereng 25-40% dan >40%; (2) pemanfaatan lahan kering di Sub DAS Jeneberang Hulu hanya ditujukan untuk mendapatkan produksi dan pendapatan usahatani tanpa tindakan-tindakan konservasi tanah yang tepat; (3) tingkat pemahaman dan tingkat keterampilan petani tenlang komponen-komponen teknologi konservasi tanah dalam mengendalikan laju erosi sangat terbatas.
Upaya pengendalian melalui program-program rehabilitasi lahan dan konservasi tanah perlu mendapat prioritas utama dalam perencanaan dan pengelolaan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia di Sub DAS Jeneberang Hulu. Pemanfaatan lahan harus sesuai dengan kemampuan lahan (land capability), terutama pada Unit Lahan VII (tingkat kemiringan lereng >40%) peruntukannya hanya untuk "kawasan lindung"", dengan desain agroekosistem yang menyerupai ekosistem alami yakni sistem agrosilvipasturral.
Kapabilitas agroekosistem dalam pemanfaatan lahan kering di Sub DAS Jeneberang Hulu telah meningkatkan kesejahteraan petani dan keluarganya. Mereka berada di atas "garis kemiskinan" atau secara relatif berada dalam "kecukupan pangan" dan dari pendapatan usahatani, petani dapat memenuhi "kebutuhan fisik minimum"nya (KFM), artinya secara ekonomi petani telah dapat memenuhi kebutuhan barang dan jasa dalam jumlah minimal. Namun tingkat kesejahteraan tersebut secara ekologis tidak berkelanjutan. jika tidak dilakukan upaya pengendalian degradasi sumberdaya lahan dan perhaikan teknik budidaya pertanian. Mengingat tingkat bahaya erosi di Sub DAS Jeneberang Hulu tergolong "sangat kritis/ekstrim", tekanan penduduk terhadap lahan dan kepadatan penduduk cukup tinggi.
Secara potensial, agroekosistem lahan kering menghasilkan pendapatan usahatani optimal Rp. 17.805.490.000,-. dengan luas lahan optimal 2.442,50 Hektar atau Rp. 7.289.986,85. per hektar. Stabilitas daya tahan ekologis mempcngaruhi kapabilitas agroekosistem untuk penyediaan bahan pangan dalam bentuk kalori di Sub DAS Jeneberang hulu. Perkembangan penduduk rata-rata 2,08% per tahun dan tekanan penduduk terhadap lahan mencapai 1.27, maka pada tahun 2020 kapabilitas agroekosistem hanya mampu mendukung 11,50 jiwa per hektar atau pada tingkat kepadatan optimum sebesar jiwa 49.858,80. (57,30%) dari total populasi penduduk (86.984 jiwa). Untuk peningkatkan daya dukung lahan, perlu upaya pengembangan sektor peternakan, hutan wisata dan sistem pertanian hutan.
Dari basil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa daya tahan ekologis agroekosistem lahan kering adalah refleksi dari stabilitas dan kapabilitas agroekosistem akibat tekanan-tekanan yang bersifat kumulatif, sinerjik dan antagonis. Model pendekatan agroekosistem di desain untuk pencegahan dan pengendalian terjadinya kemerosotan kualitas sumberdaya lahan dan lingkungan dan tetap mernpertahankan produktivitas pertanian. Keterpaduan dua aspek tersebut merupakan konsepsi pembangunan pertanian berkelanjutan dan melembagakan aspek ekologi ke dalam kebijakan ekonomi.
Oleh karena itu, model pendekatan agroekosistem merupakan suatu konsep dan metode ilmiah yang mengkaji dinamika agroekosistem secara terpadu dan saling kait mengkait secara fungsional antar aspek-aspek daya tahan ekologis, kapabilitas dan stabilitas agroekosistem lahan kering dalam satuan analisis yang dilakukan melalui proses kegiatan penelitian secara ilmiah.
The current development beside having growth aspects, it also has a dimension of seeing the development as a transformation process that optimizes the utilization of natural resources. The appearance of the dimension of sustainability is based on the concern of mankind towards their own future and a set back in wisdom of as a result of the ineffective human resources in managing the natural resources properly as well as the application of technology in the various efforts of the development. Soerjani (1995:3) said that the deterioration of the environmental quality is caused by the application of polluting technology that is followed by over consumption. the non harmonization's development policy, the rapid growing population and poverty problem.
The problem in the agriculture development and living environment al The Watershed Area of Upper Jeneberang South Sulawesi are the critical land problem and its impacts towards agriculture productivity and its management. The objective of this research is to study the agroecosystem dynamics and to develop a concept of agroecosystem approach in the utilization of the land resources. The three models used to study dry land agroecosystem dynamics are: 1) ecological durability analysis model; 2) agroecosystem capability analysis model;3) agroecosystem stability analysis model.
The agroecosystem ecological durability of the dry land of the Sub Watershed Area of Upper Jeneberang is qualitatively decreasing, because the erosion danger index has reached the level of a "very high/extreme" (IBE> 1) (I lamer. 1982:46). The result of erosion index analysis can be seen at the non-irrigated land with an area of 831 hectares have caused a total erosion of 121,655 tons/hectare or an average of 146.40 tons/hectare/year and wetpaddy field with an area of 1,283 hectares causing total erosion of 105,667.60 tons/hectare/year or average of 82.35 tons/hectare/year.
The high erosion rate is due to (1) the utilization of dried land is not accord with the land capacity, especially in the Unit IV area (Bulutana Village) and Unit VII area (Kanreapia Village), both situated respectively on a slope of 25-40% and >40%: (2) dry land utilization at the Watershed Area of Upper Jeneberang is only intended for production and agribusiness income without appropriate land conservation measures; (3) the level comprehension and skill of the farmer regarding soil conservation technology components in control-ling the erosion rate are very limited.
The controlling efforts through land rehabilitation and soil conservation program should receive top priority in planning and management of natural and human resources at the Sub Watershed Area of Upper Jeneberang. The land utilization should be in accord with the land capability, especially in Unit VII Area (with a slope >40%) its allocation is only as "sanctum). area with an agroecosystem design that resembles natural ecosystem. named the agrosilvipasturral system.
The agroecosystem capability in utilizing of the dry land in the Sub Watershed Area of Upper Jeneberang has increased the farmers and their families welfare. They are already above the 'poverty line" or have relatively "sufficient food" and from the agribusiness income, those farmers are able to meet the demand for goods and services in minimum amount. However, the welfare level is not sustainable ecologically, unless the land resource is controlled and agriculture techniques are improved. Due to the "very high/extreme" erosion rate in the Sub Watershed Area of Upper Jeneberang the population pressure toward the land and population density is quite high.
Potentially, the agroecosystem of dry land provide an optimum agribusiness income of Rp. 17,805,490,000,-. The ecological resilience stability influences the agroecosystem capability in providing food in terms of calories in the Sub Watershed of Upper Jeneberang. The population growth is 2.08% per year and the population pressure toward the land is 1.27, therefore in the year 2020 the agroecosystem capability is only support 11.50 people per hectare or at the optimum density level is 49,858.80 (57.30%) of the total population 86.894 peoples in order to increase the land supporting capability. a development of animal husbandry, forest tourism and agroforestry is needed.
The result of this research disclosed that the agroecosystem ecological durability is a reflection of the stability and capability of the agroccosystem due to cumulative. synergistic and antagonistic pressures. The agroecosystem approach model is designed to prevent and control the deterioration of land resources and environmental quality as well as to maintain agricultural productivity. The integration of these two aspects constitutes the concept of sustainable agricultural development and institutionalizing ecological aspect into the economic policy.
Therelbre, the agroecosystem approach model constitutes a concept and scientific method that study the agroecosystem dynamics integrativcly and interrelated functionally between of ecological durability. capability and stability of the dry land agroecosystem in an analysis that is carried out through activity process of scientific research.