ABSTRAKDiferensiasi gender yang diakibatkan oleh proses sosialisasi dan enkulturalisasi dalam keluarga dan masyarakat merupakan asumsi dasar dalam memulai studi tentang kehidupan istri buruh bangunan di wilayah Jakarta Utara pada awal Pelita keenam ini. Diferensiasi ini telah diabaikan dalam perencanaan-perencanaan pembangunan, sehingga menimbulkan dampak yang negatif bagi wanita miskin, yaitu menyebabkan adanya marjinalisasi wanita dalam berbagai aspek kehidupannya. Namun, sebagai makhluk Tuhan yang dikaruniai akal budi, wanita miskin juga memiliki suatu kekuatan dari dalam dirinya, sehingga ia akan selalu berupaya dalam hidupnya agar dapat bertahan. Keadaan ini nampak dengan jelas pada wanita yang merupakan istri buruh bangunan, yang senantiasa mencari upaya agar dapat bertahan dalam keadaan mereka yang serba kekurangan.
Diferensiasi gender yang menimbulkan ketidaksetaraan kekuasaan antara wanita dan pria itu, ternyata dibawa ke dalam kehidupan perkawinan dalam bentuk ketidaksetaraan kekuasaan antara suami istri. Ketidaksetaraan kekuasaan ini nampak dalam peran-peran mereka dalam keluarga dan dalam masyarakat.
Dalam mencari nafkah, para istri buruh bangunan tidak beruntung, karena tidak ada yang menggantikan mereka dalam mengasuh anak, karena pendidikan yang sangat kurang, dan karena ketidakmampuan berdagang dan/atau ketiadaan modal. Mereka bergantung secara finansial pada suami mereka. Namun, dalam mengelola keuangan keluarga, menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi keluarga, menyelenggarakan rumah tangga, mengatur hubungan sosial dengan kerabat dan lingkungan sekitar, mereka handal. Tanpa jasa mereka, para buruh bangunan yang penghasilannya tidak sinambung itu akan menemui kesulitan untuk dapat memenuhi kebutuhan keluarga mereka; padahal keadaan itu, akibat adanya tekanan sosial pada peran pria sebagai pencari nafkah utama yang telah mereka internalisasi, dapat mengancam ego para suami. Tanpa jasa mereka pula, keutuhan keluarga akan terancam.
Para istri buruh bangunan telah menghindarkan suami mereka dari kegagalan memenuhi kewajiban sebagai suami dan bapak dari anak-anak mereka. Dengan demikian, ketergantungan finansial para istri buruh bangunan pada suaminya diimbangi dengan ketergantungan psikologis para suami pada mereka, dan paling tidak telah membuahkan suatu penghargaan akan kemampuan mereka.
Diferensiasi peran antara suami-istri dan pedoman pada pengetahuan dan nilai-nilai mereka yang terbatas membentuk strategi mereka untuk mempertahankan hidup keluarga mereka. Para istri mempunyai strategi dalam menjalankan peran mereka (mengelola keuangan rumah tangga), yaitu dengan memberi prioritas pada keinginan para suami dan menyelenggarakan kebutuhan mereka, agar para suami dapat menjalankan peran mereka (mencari nafkah keluarga). Oleh karena itu, bagi para istri, pekerjaan domestik adalah salah satu strategi ketahanan hidup mereka.
Mengimbau wanita untuk tidak hanya berkecimpung di dunia domestik namun juga di dunia publik akan meningkatkan harkat dan martabat wanita. Namun, seperti yang dikatakan oleh Lynne Segal dalam Slow Motion. Changing Masculinities Changing Men, wanita miskin tidak dapat menikmati the best of the two worlds atau "yang terbaik" dari dunia publik maupun domestik -tersebut. Bagi wanita miskin yang tidak mempunyai pilihan, dunia publik tidak menguntungkannya. Kondisi sosio-ekonomi mereka menyebabkan mereka tidak dapat melakukan trade-off atau pertukaran antara dunia publik dan dunia domestik. Para istri buruh bangunan dalam tesis ini, contohnya, hanya dapat mengambil "yang terbaik" dari dunia domestik; menjadi manajer rumah tangga. Keadaan demikian bukanlah keadaan yang ideal, namun merupakan pemanfaatan keadaan yang optimal.
Oleh karena itu, perlu juga diimbau agar para pria mau berkiprah ke domestik, sehingga tercapai kelenturan pembagian peran antara wanita dan pria, yang menyebabkan wanita maupun pria dapat bergerak di kedua ruang lingkup tersebut tanpa penilaian pantas atau tidak. Dengan demikian diharapkan agar jalan menuju kesetaraan antara kedua jenis kelamin ini lebih mudah dicapai.