Pemberiakuan otonomi daerah sebagairnana ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 merupakan titik tolak perubahan paradigma pembangunan di daerah yakni dari sistem sentralisasi ke arah sistem desentratisasi. Secara substansial dan komprehensif masyarakatlah yang sebenarnya sebagai tujuan utama penerima otonomi daerah dan bukannya pada pemerintah daerahnya. Untuk mengetahui seberapa besar jangkauan dari sistem pelayanan kesejahteraan sosial akan mampu dirasakan masyarakat hingga pada tingkat yang paling bawah, kondisi ini dapat diamati dari seberapa besar pula Bargainning power masyarakat melalui wadah LPM (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat) berkemampuan (powerfull) mempengaruhi Pemerintah Kota Tarakan di dalam penetapan kebijakan kesejahteraan sosial.
Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana kecenderungan yang terjadi dalam pelaksanaan kebijakan kesejahteraan sosial Kota Tarakan periode Tahun 2001-2003, serta pengaruhnya terhadap jenjang partisipasi masyarakat dalam perencanaan pelayanan kesejahteraan sosial di Kecamatan Tarakan Barat Kerangka pikir utama dalam mekanisme perencanaan pembangunan daerah, diarahkan pada bagaimana hasil akhir (outputs) dari sistem perencanaan pembangunan daerah tersebut akan lebih mampu menyelesaikan dan mengentaskan permasalahan kesejahteraan sosial kemiskinan secara cepat, tepat dan mendasar. Perencanaan pembangunan semacam ini sudah barang tentu mensyaratkan adanya partisipasi aktif dari seluruh elemen masyarakatnya secara nyata dan berkelanjutan, dalam mewujudkan tegaknya keadilan dan kesejahteraan umum.
Penelitian deskriptif ini dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan kualitatif yang didasarkan pada kerangka teori sistem melalui analisis sistem dinamik. Pendekatan ini dipandang sangat cocok untuk menganalisis dinamika kebijakan kesejahteraan sosial Kota Tarakan yang didirikan dengan adanya penuh kerumitan, selalu mengalami perubahan cepat yang mengandung ketidakpastian, adanya waktu jeda (delay) dan umpan balikan (feedback loop). Sumber data penelitian adalah para informan yang dipilih berdasarkan teknik purposive (non probability) sampling, dan proses pengumpulan datanya dilakukan dengan cara memadukan penggunaan teknik in-depth interview dan studi dokurnentasi. Cara ini dimaksudkan sebagai mekanisme untuk saling melengkapi, dan cara semacam ini dapat diyakini mampu menjelaskan secara obyektif dan komprehensif kondisi realitas sosiai yang ditemukan di lokasi penelitian.
Hasil penelitian lapangan menunjukkan begitu kuatnya dominasi kebijakan kesejahteraan sosial yang bersifat top down planning daripada bottom up planning, artinya keputusan untuk memenuhi kebutuhan dan penyelesaian masalah yang secara nyata dirasakan oleh masyarakat, masih dibuat dan didominasi oleh usulan-usulan kegiatan pembangunan strategis yang datangnya dari jajaran Dinas (Satuan Kerja) Pemerintah Kota Tarakan, yang di dalamnya masyarakat khususnya pada tingkat yang paling bawah (grassrtaat) kurang memiliki peranan yang dilakukan sebagai partisipasi aktif.
Kesulitan di dalam mencari titik temu antara kebijakan kesejahteraan sosial yang bersifat top down planning dengan bottom up planning di Kecamatan Tarakan Barat karena: pertama, strategi kebijakan pembangunan yang dilaksanakan dalam rangka terwujudnya percepatan pembangunan Kota Tarakan sebagai Little Singapore, di dalam prakteknya masih tidak jelas pengoperasionalisasianya hingga pada tingkat grassrt Kadua, berbagai usulan kegiatan pelayanan kesejahteraan sosial yang berasal dari LPM pada kenyataannya relatif kurang dilandaskan pada upaya-upaya ke arah pemenuhan kebutuhan riil (real need) masyarakat. Hal ini terlihat dari banyaknya usulan kegiatan pembangunan yang mereka ajukan, cenderung memiliki kesamaan dengan usulan kegiatan pembangunan pada tahun-tahun sebelumnya. Ketiga, masih kurang efektifnya bargaining power masyarakat (LPM), yang ditandai dengan masih relatif tingginya persentase angka fraksi kebijakan kesejahteraan sosial yang bersifat top down planing (22,62% per tahun).
Jenjang partisipasi masyarakat dalam perencanaan pelayanan kesejahteraan sosial di Kecamatan Tarakan Barat baru pada jenjang anak tangga ketiga yang merupakan kelompok Degree of Tokenism, sebagaimana kerangka teori dalam Delapan Tangga Partisipasi Masyarakat menurut Amsteln. Pada jenjang partisipasi ini, didirikan oleh adanya kemampuan masyarakat untuk berpendapat dan menyampaikan pandangan-pandangannya, akan tetapi mereka belum memiliki kemampuan untuk mempengaruhi pemerintah dalam menetapkan kebijakannya sehubungan penyampaian pandangan yang telah mereka sampaikan. Peranan serta masyarakat pada jenjang partisipasi ini, dimaknai hanya memiliki kemungkinan yang relatif kecil untuk mampu menghasilkan suatu perubahan-perubahan yang mendasar, ke arah terwujudnya kondisi kesejahteraan sosial.
Kenyataan tersebut di atas dilatarbelakangi oleh beberapa faktor penghambat untuk tumbuh dan berkembangnya partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan, antara lain: pertama, hambatan struktural yang berupa sistem politik Pemerintah Kota Tarakan yang tampak begitu sentralistik di dalam menetapkan kebijakan pembangunannya, dengan kurang mau menerima kritik dan saran dari masyarakat (LPN), sekalipun itu juga saran yang datangnya dari pihak legislatif. Kedua, hambatan administratif yang berupa sistem administrasi perencanaan dan sinkronisasi kebijakan pembangunan daerah yang dilakukan secara terpusat, dengan kurang mengedepankan pentingnya pelibatan peran aktif masyarakat di dalamnya, sehingga kegiatan pembangunan yang direalisasikan akan lebih didominasi oleh usulan-usulan kegiatan strategis dari Dinas (Satuan Kerja) Pemerintah Kota Tarakan.
Upaya rekomendasi terhadap realitas sosial rendahnya jenjang partisipasi masyarakat dalam perencanaan pelayanan kesejahteraan sosial Kecamatan Tarakan Barat antara lain: pertama, dilaksanakannya Reposisi Fungsi LPM yang ada pada setiap Kelurahan, Kecamatan dan Kota, yang terdiri dari program restrukturisasl LPM dan program stabilisasi LPM. Kedua, meningkatkan upaya-upaya pembelajaran kepada masyarakat tentang perencanaan pembangunan daerah yang ideal. Ketiga, pengkajian kembali terhadap alur mekanisme perencanaan dan penganggaran pembangunan Kota Tarakan sebagaimana yang telah ada selama ini untuk lebih bersifat partisipatif dan accountable.
(Tesis: xii, 6 bab, 149 halaman, 16 tabel, 10 gambar, 4 lampiran, Bibliografi: 41 buku, 1 tesis, 2 jurnal, dan 4 makalah, (1980 s/d 2003)