Kekerasan massa yang terjadi di Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir-Riau pada tanggal 29 Maret dan 2 April tahun 2001 yang lalu telah menyentakkan banyak pihak, karena kekerasan massa yang terjadi agak bersifat unik yakni hanya ditujukan kepada pihak kepolisian semata yang tidak meluas kepada pihak lain. Oleh karena itu, menarik untuk diteliti terutama mengenai masalah gambaran deskriptif, bentuk-bentuk kekerasan dan faktor-faktor penyebab kekerasan massa di Tembilahan.
Adapun teori yang digunakan untuk melihat permasalahan tersebut sebagai pilau analisis seperti terdapat dalam studi Smelser, Sukiat dkk, Nusa Bhakti, Sulistyo, Sihbudi dan ditambah oleh beberapa teori/studi lain tentang kekerasan massa yang mendukung, seperti Firdausy dan Purwana. Pada intinya teori-teori tersebut menjelaskan bahwa suatu persitiwa kekerasan massa memiliki berbagai faktor-faktor penyebab dan kekerasan tersebut dimanifestasikan dalam berbagai bentuk atau pola.
Dalam penelitian ini digunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif eksplanatif Untuk memperoleh data, digunakan metode wawancara mendalam, observasi, dan penelusuran data tertulis. Jumlah informan yang diwawancarai sebanyak 35 orang yang dipilih secara purposif dengan menggunakan teknik snow ball sampling, Penelitian ini dilakukan mulai bulan Agustus sampai November 2003 yang berlokasi di kota Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir-Riau Analisis data digunakan dengan cara seleksi, Idensifikasi, dan interpretasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa deskripsi kejadian massa memiliki lima tahap/periode, yakni (a) periode pra kejadian (adanya keresahan sosial dalam masyarakat akibat penembakan yang dilakukan polisi); (b) periode kekerasan massa tahap I (penyerangan dan pembakaran terhadap Mapolres, perusakan asrama, rumah dinas Kapolres dan Wakilnya); (c) periode masa tenang (upaya pengendalian situasi oleh berbagai pihak, masyarakat, aparat kepolisian/TNI, dan pemda); (d) periode masa kekerasan massa tahap II (pembakaran terhadap rumah dinas Kapolres); dan (e) periode masa damai (kembalinya aktivitas masyarakat seperti sediakala).
Secara garis besar terdapat dua bentuk kekerasan massa yang terjadi dalam kerusuhan di Tembilahan yakni (a) secara non fisik/verbal (dalam bentuk ungkapan kata-kata yang bernada tuntutan, ancaman, cacian dan provokasi) dan (b) secara fisik/non verbal (dengan menggunakan benda-benda keras seperti pentongan, batu, kayu dan sejenisnya serta bom molotov dan bahan bakar sejenisnya). Sedangkan yang menjadi faktor penyebab terjadinya kekerasan massa dapat dibagi ke dalam enam lima faktor yakni (a) faktor structural condusiveness (terdapatnya kondisi struktural yang kondusif yang berupa ketidakharmonisan antara masyarakat Tembilahan dengan polisi sebelum kekerasan massa berlangsung); (b) faktor structural strain (terdapatnya ketegangan struktural yang terjadi antara masyarakat Tembilahan dengan polisi, di mana adanya ketidakadilan yang dipersepsikan/dipahami masyarakat terhadap polisi sebagai sesuatu yang menindas sebelum kekerasan massa berlangsung) (c) faktor pola budaya masyarakat (terdapatnya kebiasaan sehari-hari yang mencerminkan budaya kekerasan di dalam masyarakat Tembilahan seperti kebiasaan membawa badik dan suka berkelahi fisik dalam menyelesaikan persoalan); (d) faktor pemicu (faktor penyulut/penyebab utama berupa arogansi Kapolres dan pemukulan yang dilakukan oknum Brimob terhadap pemulung); (e) faktor katalis (faktor yang mempercepat terjadinya kekerasan massa berupa isu meninggalnya korban dan isu bahwa polisi menutup-nutupi fakta sebenarnya dan adanya provokasi dan mobilisasi); (f) lemahnya manajemen konflik (faktor penahan dan peredam yang kurang memadai berupa kurangnya antisipasi pihak kapolres dengan baik, kurang berhasilnya pihak pemda dan tokoh-tokoh masyarakat dalam menahan aksi massa).
Berdasarkan hasil temuan di atas dapat disusun rekomendasi kebijakan sebagai berikut: (a) perlu adanya formulasi Perda Kabupaten Indragiri Hilir No.10 Tahun 1996 tentang Ketertiban Umum dengan membuat pasal khusus mengenai pembentukan pusat krisis (crisis centre) atau lembaga pengaduan masyarakat (public complaint institution) serta lembaga pemantau polisi (police watch institution); (b) perlu adanya revisi pada Bab X dari Perda No.10 Tabun 1996, mengenai pengawasan dan pengusutan, solusinya adalah dengan memuat pasal yang melibatkan komponen masyarakat (terutama dalam pencarian fakta dalam sebuah kasus); (c) Kapolres atau pejabat Polres yang ditunjuk agar melaporkan perkembangan situasi keamanan dan ketertiban kepada DPRD Kabupaten Indragiri Hilir secara rutin; (d) Perlu adanya setiap anggota DPRD membuat report dan pembinaan kepada masyarakat di masing-masing wilayahnya untuk mendukung terciptanya keamanan dan ketertiban pada masing-masing daerah yang diwakilinya; (e) Kepada DPRD dan Pemda direkomendasikan agar membuat Perda tentang pembentukan Komite Daerah Hak Azasi Manusia (Komda HAM) dan (f) Kepada DPRD dan Pemda Kabupaten Indragiri Hilir direkomendasikan agar mengalokasikan anggaran yang proporsional untuk operasional pembiayaan lembaga seperti pusat krisis, lembaga pemantau polisi, serta Komda HAM.
x+142 hlm.+l0 tabel+4 matriks+43 kepustakaan+lampiran