Dalam dunia penerbangan, terutama penerbangan jenis helikopter ditemukan adanya awak pesawat yang mengalami gangguan pada penglihatan yakni berupa penurunan ketajaman penglihatan (miopia), yang akan mengganggu penerbangan. Faktor yang berperan untuk terjadi miopia ini, berasal dari dalam ataupun luar lingkup penerbangan.
Metode: Penelitian dilakukan terthadap 172 awak pesawat helikopter (pilot dan juru mesin udara) TNIAU dan TNIAD. Untuk menentukan prevalensi serta mencari faktor yang berperan pada terjadinya miopia reversibel dilakukan pendekatan nested case-control. Penelitian dilakukan dengan cara mempergunakan data dari hasil rekaman medis berkala dari tahun 1972 sampai tahun 1994 dan dari log board masing-masing awak pesawat.
Hasil: Prevalensi miopia pada awak pesawat sebesar 30,2% (2,9% diantaranya adalah miopi reversibel) dari 172 subyek yang diteliti. Analisis statistik terhadap faktor risiko yang diperkirakan berkaitan dengan terjadinya miopia reversibel dari 47 kasus dan 94 kontrol, menunjukkan bahwa terdapat sejumlah faktor yang berpengaruh yaitu: vibrasi helikopter, jabatan awak pesawat dalam penerbangan, dan golongan pangkat. Jika dibandingkan yang terpajan dengan vibrasi lemah, maka awak pesawat helikopter yang mengalami vibrasi kuat mempunyai risiko sebesar 3,75 kali lipat mengalami miop reversibel (95%CI:1,25-12,O3). Jabatan awak pesawat sebagai juru mesin udara dibandingkan dengan penerbang mempunyai risiko mendapat miop reversibel sebesar 3,89 kali lipat (95%CI : 1,50 - 10,21). Golongan pangkat Bintara dibandingkan Perwira mempunyai risiko terkena miop reversibel sebesar 9,78 kali lipat {95% CI : 2,49 - 24,05).
Kesimpulan: Prevalensi miop dikalangan awak pesawat helikopter TNIAU dan TNIAD cukup tinggi {30,2%). Vibrasi helikopter merupakan faktor risiko untuk terjadinya miopia. Disamping itu golongan pangkat Bintara dan Juru mesin udara perlu perhatian yang khusus, supaya risiko untuk mendapat miop reversibel dapat dikurangi.