Perkenankanlah saya terlebih dahulu memanjatkan puji syukur kepada Tuhan yang Masa Esa atas rahmat dan karunia-Nya hingga upacara pengukuhan saya sebagai Guru Besar Tetap dalam lhnu Gizi di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dapat terselenggara pada hari ini. Saya ucapkan terima kasih kepada para hadirin sekalian yang telah memberikan perhatian dan meluangkan waktu untuk menghadiri pengukuhan saya.
Pada tahun ini kita akan mengakhiri Pembangunan Jangka Panjang Tahap I (PJPT-I) dan akan memulai PJPT II pada tahun depan yaitu awal era tinggal landas. Tujuan utama era tinggal landas pembangunan nasional ini adalah pengembangan sumberdaya manusia yang berkualitas tinggi. Salah satu upaya di bidang kesehatan yang mempunyai dampak besar terhadap peningkatan kualitas sumberdaya manusia tersebut, adalah upaya peningkatan gizi masyakarat. Kiranya wajar kalau pada kesempatan ini saya memilih judul:
Peranan Perguruan Tinggi dalam Upaya Perbaikan Gizi di Indonesia
Masalah gizi telah diidentifikasi di Indonesia sebelum Perang Dunia II. Setelah Perang Dunia II yaitu setelah kemerdekaan, sekitar tahun 1950-1965, beberapa daerah di Indonesia mengalami krisis pangan, busung lapar, 3-5% anak-anak menderita Kurang Kalori Protein berat dan pendarita Kwashiorkor serta Marasmus mudah ditemukan di bangsal-bangsal rumah sakit.
Usaha pemerintah untuk menanggulangi masalah gizi telah lama dilakukan di Indonesia. Ini tercermin pada program-program sebelum dan selama PJPT-I. Pada tahun lima puluhan dibentuk Panitia Negara Perbaikan Menu Makanan Rakyat, dibangun Lembaga Makanan Rakyat dan pada tahun 1963 diadakan Applied Nutrition Program, yang kemudian dikenal sebagai Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK). Dalam Repelita I (1969-1974) dan Repelita II (1974-1979) pembangunan sektor pertanian serta produksi pangan mendapat prioritas, Nutritional Surveillance System/Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) dirintis dalam bentuk Pilot Project pada tahun 1979. Pilot Project ini berkembang menjadi Sistem Isyarat Dini dan Intervensi (SIDI)/Early Warning Information and Intervension System yang kemudian menjadi Timely Warning System. Selanjutnya salah satu tujuan utama Repelita III adalah pengembangan UPGK hingga mencakup 75% desa yang tersebar di 27 propinsi. Dalam Repelita IV program perbaikan gizi merupakan bagian dari program program bidang kesehatan, pertanian, pembangunan daerah pedesaan serta kependudukan, sedangkan dalam Repelita terakhir PJPT-I (1989-1994) upaya perbaikan pangan dan gizi dikaitkan dengan peningkatan kualitas hidup penduduk.
Ternyata PJPT-I berhasil dan keberhasilannya dalam bidang pertumbuhan ekonomi, perkembangan bidang pertanian, keluarga berencana serta penunman angka kematian bayi telah mengubah keadaan pangan dan gizi di Indonesia. Dan pengimpor beras nomor satu di dunia, Indonesia menjadi negara swasembada pangan dan prevalensi penyakit-penyakit kurang gizi utama sekitar tahun 1990 lebih rendah jika dibandingkan dengan sekitar tahun 1980; penyakit Kurang Kalori Protein dari 29,9% menjadi 10,48%, Kurang Vitamin A (KVA) dari 1,4% menjadi 0,7%, Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI) dari 37,2% menjadi 23,2% dan Anemia Gizi dari 70% menjadi 55%. Tetapi juga diidentifikasi gizi lebih di kelompok masyarakat tertentu.
Keberhasilan PJPT-I dalam upaya perbaikan gizi tidak lepas dari pendekatan sistem yang dipakai serta perkembangan kelembagaan gizi di Indonesia.