Studi ini mengkaji tentang Jatinegara dalam kaitannya dengan; (1) dinamika nilai-nilai kesenian jaipong (local knowledge) yang terarah pada kehidupan kesenian dalam konteks sosial-budaya masyarakat urban yakni Jakarta, sebagai kota metropolitan; (2) fenomena pergulatan siasat perempuan seni tradisi jaipong dalam wacana seksualitas dan kekuasaan; (3) strategi dan siasat apa yang digunakan dalam mendialogkan kepentingan perempuan seni tradisi jaipong dengan kekuasaan.
Untuk mendapatkan validitas data dan tidak keluar dari tradisi keilmiahan serta dapat mengambarkan apa yang terjadi sebenarnya - sebagai sebuah realitas - maka dengan metode etnografi yang tidak hanya etic tetapi emic dalam hal ini tentukan. Dalam metode penelitian etnografi salah satunya pengamatan terlibat atau partysipant observation (Spradley, 1979). Penelitian dengan teknik wawancara, saya lakukan tidak terstruktur untuk mendapat data yang sebenar-benarnya dan tanpa tekanan. Sedang dalam analisis data merupakan penyederhanaan data kedalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan. Seluruh data dianalisis secara kualitatif agar mempermudah menjawab permasalahan penelitian.
Dalam kajian ini saya menggunakan pendekatan antropologi kekuasaan, kekuasaan disini mengacu pendapat Foucault (1978:92), bahwa kekuasaan sebagai sebuah model strategis canggih dalam masyarakat tertentu dibentuk dari kekuasaan-kekuasaan mikro yang terpisah-pisah. Kekuasaan ada diinana-mana dan datang dari mana-mana. Kekuasaan berbagai hubungan yang imanen, permainan perjuangan dan pertarungan tanpa henti mengubah, memperkokoh, memutarbalikkan, suatu sistem bisa terbangun atau justru peminggiran dan pengucilan dan sebagai strategi tempat hubungan-hubungan kekuatan itu berdampak. Sehingga kristalisasi dalam lembaga terwujud dalam kerangka negara, perumusan hukum dan hegemoni sosial.
Jaipong Jatinegara hadir sebagai pertunjukan yang berfungsi hiburan. Bentuk dan struktur pertunjukan tidak jauh beda dengan jaipong di daerah lain, akan tetapi lebih mendekati sebagai sanggar tradisional (semacam diskotik) tetapi terbuka. Setiap malam mereka tampil kecuali malam Jumat atau hari-hari besar Islam. Bahkan pada bulan Ramadhan mereka tetap tampil sampai dini hari. Kehidupan kota Jakarta di sekitar Pisangan Lama, yang notabene kehidupan padat dan kumuh, akan tetapi justru membuat mereka dapat menikmati hidup. Kehidupan malam menyelimuti kawasan Jaipong Jatinegara yang terkesan dengan hiburan malam. Mulai dari pasar, Pekerja Seks Komersial (PSK), baik waria maupun PSK di bawah umur menjadi pemandangan yang rumit. Alasan ekonomi dan pengangguran menjadi alasan utama mereka untuk ramai-ramai datang ke kota.
Ada dua grup yang ikut berkontestasi dalam sesaknya kehidupan kota, yaitu Mekar Munggaran dan Lestari Warga Saluyu. Jaipong ini hadir sejak dekade akhir 60-an sampai sekarang mereka mampu bertahan dengan penuh perjuangan. Jaipong hiburan yang telah berakar pada masyarakat Sunda terutama daerah Pantura Jawa Barat, mencerminkan kehidupan mereka dalam masa transisi. Perubahan terus bergulir tidak terelakkan. Grup jaipong juga menerima modemisasi dengan baik, yaitu dengan menambah alat musik organ dan gitar serta melantunkan lagu-lagu dangdut. Perempuan sebagai pusat pertunjukan tradisi ini adalah sinden dan penari yang berjurnlah tidak kurang dari 9-11 orang. Salah satu yang menjadi ciri utama jaipongan adalah goyang pinggul yang terkenal dengan `goyang Karawang' yaitu 3 G (gitek, gaol dan goyang) serta uyeg gerak tubuh yang lebih sensual. Gelinjang kaki dan permainan tangan lincah dibarengi dengan paras wajah yang telah dirias dengan cantik, maka menambah kemeriahan sebuah pertunjukan jaipong. Tubuh sinden dan penari jaipong dengan baju yang ketat serta transparan menambah kemolekan tubuh yang sintal.
Kehidupan sinden dan penari tidak lepas dari jantung pertunjukan jaipong yaitu bajidor. Dengan cengkraman ekonomis bajidor mempengaruhi hidup sinden atau penari. Wacana hegemoni terus dilakukan oleh laki-laki tersebut akan tetapi kenyataan bahwa para perempuan jaipong ini tidak selalu pasif atau sub-ordinat, budaya patriarkhal yang melingkupi kehidupan masyarakat secara umum membuat posisi 'demikian tidak menguntungkan perempuan jaipong. Agama yang dianut mereka, termasuk negara menunjukkan. wacana hegemoni terus di pupuk oleh pihak penguasa. Hal ini didukung pula oleh konstruksi ilmu pengetahuan yang berkembang ikut serta melegitimasi, seperti aliran feminisme yang dianut oleh,beberapa pemikir, akademisi, dan LSMINGO. Ikut meramaikan perkembangan dunia perempuan. Konstruksi gender dan kekuasaan yang masih timpang dan tidak setara masih terus berkembang.
Studi ini setidaknya memberikan pradigma baru pandangan terhadap perempuan seni tradisi jaipong. Di mana mereka menyandang stigma atau sterotipe sebagai pelacur atau perempuan nakal dsb, dengan melihat siasat dan strategi yang digunakan oleh perempuan jaipong, melalui politik tubuh dan seksualitasnya terutama pada saat di panggung pertunjukan dimainkan, Manipulasi tubuh, Citra fisik tubuh dan Hasrat penonton (Body Manipulatins, Pchycal Image & Audiens Need) oleh penari dan sinden sebagai ajang negosiasi dan kontestasi akan hegemoni kekuasaan. Gerak tari erotis dengan musik yang ajeg didukung raut muka menggairahkan dan mendesah, para penari/sinden dapat menguasi kekuatan bajidor, dengan demikian kekuasaan akan bergerak pindah dan bergulir.
Perempuan jaipong bertarung dan berjuang untuk dapat mendominasi para penonton, jaipong sebagai arena kontestasi sangat menguntungkan bagi perempuan seni tradisi ini.
Dalam kajian ini terlihat dengan jelas, bahwa perempuan ini punya kekuasaan setara dengan yang dimiliki oleh laki-laki. Bagi perempuan jaipong mereka tidak pernah merasa tereksploitasi atau terpedaya, akan tetapi justru mereka sadar akan politik tubuh mereka untuk mengeksploitasi laki-laki atau masyarakat yang memarjinalkan mereka. Cultural hegemony (Gramsci,1985:169) akan terus dikontestasikan agar mendapatkan pengakuan. Begitu pula pada persoalan perempuan jaipong dengan siasat mereka dapat eksis, meskipun sulit untuk merubah pandangan masyarakat terhadap penari atau sinden. Akan tetapi dengan membuka wacana ketidakmutlakkan kebenaran masyarakat secara umum akan mengerti pembedaan yang disosialisasikan oleh masyarakat sendiri.