ABSTRAKBursa Efek Jakarta (BEJ) mulai menampakkan gairah pada tahun 1988, setelah pemerintah mengeluarkan serangkaian paket kebijaksanaan. Namun karena pasar modal masih merupakan hal yang baru bagi investor maka keputusan beli mereka kurang didasari oleh analisis-analisis fundamental tentang prospek perusahaan. Hal ini mengakibatkan harga saham tidak mencerminkan kondisi obyektif perusahaan.
Di pasar modal yang sudah mapan, harga akan mencerminkan kondisi obyektif perusahaan. Jika ada informasi baru, maka harga akan dengan cepat menyesuaikan. Misalnya, jika perusahaan memberi informasi akan menaikkan besar dividen maka harga saham dengan cepat mengalami kenaikan. Demikian jugs sebaliknya jika perusahaan mengumumkan penurunan dividen, maka harga saham akan turun. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah ada perbedaan perilaku dividen antara pasar modal yang sudah mapan(efisien) dengan perilaku dividen di BEJ yang belum mapan.
Hasil penelitian menunjukkan ada perbedaan perilaku dividen. Perusahaan-perusahaan di BEJ cenderung tidak berusaha mempertahankan besar dividen tahun sebelumnya, dimana di pasar modal yang sudah mapan berupaya mempertahankan besar dividen. Faktor laba dan dividen sebelumnya memang merupakan faktor-faktor yang signifikan menentukan besar perubahan dan besar dividen. Namun kalau hanya faktor-faktor tersebut ternyata belum cukup besar untuk menjelaskan besar perubahan dan besar dividen. Masih banyak faktor selain laba dan dividen tahun lalu yang mempengaruhi dividen. Perusahaan-perusahaan di BEJ juga tidak memanfaatkan sinyal pengumuman dividen ketika akan menawarkan saham baru, seperti yang dilakukan perusahaan-perusahaan di Pasar modal yang sudah mapan.