Latar BelakangHubungan antara karya sastra dan kenyataan sering dipertanyakan oleh para kritikus sastra. Kenyataan di sini adalah segala sesuatu yang berada di luar karya sastra dan yang diacu oleh karya sastra.
Salah seorang kritikus yang mencoba melihat hubungan tersebut adalah Aristoteles (384-322 SM) melalui sebuah konsep mimesis yang dikemukakannya. Dalam karyanya yang berjudul Poetica, ia mengatakan bahwa mimesis bukan semata-mata tiruan kenyataan, melainkan sebuah proses kreatif. Bertolak dari sebuah kenyataan, seorang penyair mencoba menciptakan suatu kenyataan lain. Dengan bermimesis seorang penyair sebenarnya menciptakan kembali kenyataan, berdasarkan hal-hal yang pernah ada, atau hal-hal yang dibayangkan seharusnya ada, baik berupa fakta, keyakinan, maupun cita-cita (Luxemburg, et.al, 1992:17).
Dalam ilmu sastra modern, teori Aristoteles mengenai mimesis masih diperhatikan, terutama teorinya mengenai recreatio, yang berasumsi bahwa karya sastra merupakan suatu dunia tersendiri. Di satu pihak karya sastra dapat dianggap sebagai sebuah cermin atau gambaran mengenai kenyataan, akan tetapi di pihak lain karya sastra juga dianggap mampu menciptakan dunianya sendiri, yakni dunia kata-kata, sebuah dunia baru yang kurang lebih terlepas dari kenyataan. Unsur-unsur khayalan yang terlepas dari kenyataan tersebut dikenal sebagai fiksionalitas. Dengan demikian sebuah teks fiksi adalah teks yang mengandung unsur-unsur tersebut (ibid: 19).
Dalam pengertian sintaks naratif, fiksi menunjuk pada sekumpulan teks dengan ciri--ciri yang khas. Dalam hal ini karya sastra, misalnya roman dan novel -dengan berbagai aturan dan pengelompokannya- dapat dianggap sebagai fiksi. Sedangkan fiksi dalam pengertian semantik menunjuk pada status denotatum, yakni rekaan.
Kebenaran fiksi di sini sebenarnya berkaitan dengan sebuah kenyataan yang didenotasikan. Akan tetapi kedua pengertian tersebut saling berkaitan, artinya di dalam fiksi menurut pengertian sintakis terdapat fiksi dalam pengertian semantik (Van Zoest, 1990: 5).
Fiksi merupakan gabungan dari realitas dan imajinasi. Seringkali realitas dalam fiksi seolah-olah dekat dengan kehidupan kita sehari-hari, akan tetapi tidak jarang realitas tersebut nampak jauh dari jangkauan realitas, sehingga sukar dibedakan dengan imajinasi. Realitas yang kelihatan jauh dari realitas kita seharihari inilah yang disebut sebagai "realitas intern", yakni kebenaran yang terikat oleh kesepakatan dan sama sekali lepas dari kenyataan yang mentah (ibid: 44).
Fiksi memberi kebebasan kepada pengarang untuk menyimpang dari realitas sehari-hari. Seorang penulis secara leluasa dapat mengolah tanda/denotatum ke dalam karyanya sehingga membentuk kebenaran baru, kebenaran tekstual, yakni sebuah "dunia mungkin".