ABSTRAKTasawuf, sufisme yang dikenal dalam Islam, merupakan gerakan keagamaan yang timbul di Kufah dan Basrah (Irak) pada abad kedelapan Masehi. Gerakan tasawuf bersifat esoteris. Sifat esotoris itulah yang membedakan tasawuf dari ajaran ortodoks. Ajaran-ajaran tasawuf pada intinya merupakan cara pendekatan diri (manusia) kepada Tuhan. Menurut Schimmel {1886: 26-28), tasawuf bersumber pada Islam, dan acuan utamanya adalah perilaku Rasul Muhammad dan sahabat-sahabatnya.
Timbulnya tasawuf, menurut Abdul Hakim Hasan seperti yang dijelaskan oleh Simuh (1992:2-3), disebabkan dua hal: pertama, sebagai reaksi atas perkembangan kehidupan masyarakat Islam yang tidak sesuai dengan ajaran Islam yang mementingkan kehidupan dunia daripada kehidupan akhirat. Kondisi demikian menimbulkan keprihatinan paras pemuka agama, yang kemudian mendorong mereka untuk membangkitkan kembali kehidupan keagamaan yang sesuai dengan ajaran Islam. Kedua, sebagai reaksi atas perubahan kehidupan keagamaan yang bersifat rasionalis formalis yang mendominasi kehidupan umat Islam pada akhir masa pemerintahan Bani Umayyah dan pada masa pemerintahan Bani Abbasiyyah.
Pada masa awal perkembangannya--sampai dengan abad kesepuluh--tasawuf belum dapat diterima oleh kalangan luas, keberadaannya dicurigai oleh pemerintah dan para ahli teologi Islam. Puncak dari pertentangan antara kaum sufi dengan pemerintah dan ahli teologi adalah dihukum pancungnya Al-Hallaj pada tahun 922 Masehi. Tasawuf dapat diterima oleh masyarakat luas pada akhir abad kesebelas dan pada awal abad kedua belas. Hal itu berkat jasa Al Ghazali yang mendamaikan kaum Sufi dengan kaum Ortodoks. Setelah usaha A1-Ghazali itu berhasil, tasawuf dapat hidup dan mengalami perkembangan.
Perkembangan tasawuf semakin luas setelah terjadi penyerbuan Baghdad oleh bangsa Mongol pada tahun 1258 Masehi. Menurut Johns (1987:87-88), setelah penyerbuan Baghdad oleh bangsa Mongol, tugas pembinaan masyarakat Islam beralih kepada kaum sufi. Hal itu terjadi karena tiga hal: hubungan antara Seikh (guru sufi) dengan pengikutnya, semangat penyebaran agama dari kaum sufi, dan basis kerakyatan gerakan sufi. Dalam kondisi demikianlah maka tarekat tasawuf menjadi mantap dan berkembang. Perkembangan tarekat tasawuf semakin luas karena adanya penyebaran dan perjalanan para guru sufi dari satu daerah ke daerah yang lain.
Penyebaran ajaran tasawuf ke Indonesia tidak dapat dilepaskan dari penyebaran agama Islam. Hal itu dikatakan oleh Johns (1987:90-91), yaitu bahwa sebagian pembawa Islam ke Indonesia adalah kaum sufi, mistikus. Menurut Tudjimah (1976: 705-707), Islam masuk ke Indonesia pads akhir abad ke-13 melalui jalan perdagangan India-Cina dan melewati pantai jazirah Malaka; Islam yang masuk ke Indonesia juga sudah melewati Iran. Pembawa Islam adalah pedagang asing muslim India dan India keturunan Arab yang tinggal di daerah pelabuhan Malaka dan Sumatera Utara. Setelah Islam berkembang di Indonesia, hubungan muslim Indonesia dan bangsa Arab mulai terjalin; hubungan itu makin meningkat pada abad ke-16 dan ke-17, yaitu melalui ibadah haji (sambil belajar agama). Akibat dari hubungan tersebut maka masuk pula berbagai aliran tarekat, misalnya Syattariah (dari Madinah), Aadiriah (dari Makkah) dan ajaran tasawuf dari Imam Ghazali. Jadi, tasawuf masuk ke Indonesia berkaitan dengan penyebaran agama Islam.