Manusia telah membuka hutan tropis untuk bercocok tanam paling tidak sejak 4.000 tahun yang lalu, bahkan mungkin sejak waktu yang lebih lama lagi. Diperkirakan perladangan berpindah adalah cara bertani yang paling tua sebagai bagian dari adaptasi manusia di hutan tropis ini (Ehret, 1982; Hutterer, 1983; Meggers 1973 Sponsel. 1986). Diperkirakan pula, bahwa sistem pertanian berladang berpindah sampai sekarang masih dipraktekkan oleh lebih dari 250 juta orang di seluruh dunia (Moran 1982:267; Dove, 1988:2).
Kawasan pertanian yang diolah dengan teknik menebang dan membakar hutan dan berpindah jika tanahnya tidak subur lagi paling tidak mencakup 30 persen dari luas lahan bumi yang bisa ditanami, terutama di lingkungan hutan tropis (Moran 1982:48,267; Conklin 1963). Di Indonesia sendiri luas wilayah perladangan diperkirakan sekitar 85 juta hektar dengan jumlah peladang sampai dengan 20 juta jiwa. Praktek perladangan tersebut masih banyak ditemukan di luar pulau Jawa. Di Jawa sendiri kegiatan peladangan berpindah masih ditemui pada abad kesembilanbelas, dan sekarang cara perladangan seperti itu hanya terdapat di Banten Selatan, tepatnya di lingkungan masyarakat Baduy (Iskandar, 1992:viii-ins).
Sampai dengan satu dekade yang lalu perhatian dan pandangan orang Barat terhadap sistem pertanian di hutan tropis cenderung meremehkan. Menurut Netting (19B6) hal ini disebahkan oleh pandangan sepihak yang sangat terpengaruh oleh model pertanian di Barat. Orang-orang Barat hanya mengenal campuran kegiatan bercocoktanam bahan makanan dengan pemeliharaan hewan ternak. Tanaman bahan makanan seperti gandum ditanam satu atau dua kali setahun; ternak dipelihara untuk memperoleh susunya dan dagingnya atau dimanfaatkan tenaganya untuk menarik dan membawa barang; dan makanan ternak disediakan di kandangnya jika pengembalaan alamiah tidak mungkin dilakukan. Dalam sistem ini lahan diolah dan digunakan tidak sepanjang tahun, sedangkan kesuburannya dijaga dengan menggunakan pupuk dan pergantian tanaman. Lahan pertanian dan hewan ternak dimiliki secara pribadi, sedangkan hasilnya dijual ke pasar. Sebaliknya pertanian di wilayah tropis dianggap terbelakang, petaninya dianggap pemalas dan tidak tahu apa-apa; peralatan mereka ketinggalan zaman dan pertanian mereka sama sekali belum baik (Netting 1986:64).01
Menurut Netting pandangan meremehkan tersebut disertai pula oleh anggapan bahwa petani daerah tropis tidak bisa bekerja keras karena iklimnya meremehkan, bahwa mereka tidak mempunyai sistem kepercayaan (folk believe) yang tepat dan memberi dorongan agar mereka bekerja keras untuk mencapai hasil sebaik mungkin. Ada pula yang aggapan, bahwa lingkungan alam tropis yang kaya bahan makanan dan memiliki buah-buahan yang selalu siap untuk dipetik itu mengakibatkan penduduknya merasa tidak perlu memaksa diri bekerja keras. Pandangan-pandangan ini menganggap bawa cara-cara pertanian yang dikembangkan penduduk penghuni hutan tropis dapat merusak tanah dan pepohonan, sehingga akhirnya menyebabkan kesuburan alamiah menjadi rusak dan tidak bisa diperbaiki (Netting 1986:61).;31
Di Indonesia sendiri perhatian terhadap masalah perladangan berpindah sebenarnya bukan lagi suatu hal yang baru. Sejak zaman kolonial Belanda kegiatan berladang ini sudah dipandang sebagai salah satu faktor penentu perubahan kondisi hutan tropic (Dove 1985:xs.vi, 1981; King 1985a, 1965b; Brewer, 1985:163-188). pentingnya hutan sebagai salah satu sumber devisa menyebabkan para pelaksana pemerintahan kolonial yang kurang memiliki pengetahuan tentang keseimbangan lingkungan cenderung menganggap para peladang berpindah sebagai saingan dalam memanfaatkan hutan. Kesederhanaan hidup mereka sering pula dikambinghitamkan sebagai kebodohan yang merusak kekayaan hutan. Setelah Indonesia merdeka, pembangunan kehutanan sebagai subsistem pembangunan nasional telah mencatat kemajuan yang sangat cepat, namun pandangan terhadap kehidupan para peladang yang secara kesejarahan dan kebudayaan terkait erat dengan lingkungan hutan tersebut hampir tidak berubah. Di samping tidak adanya kepercayaan bahwa komunitas penghuni hutan dapat ikut memberikan sumbangan kepada perkembangan ekonomi nasional (Dove 1985:xxvii).