Kotagede merupakan kota yang unik, kota kecil ini merupakan bekas Ibu Kota kerajaan Mataram Islam, tahun 1586 sampai dengan tahun 1613. Tidak seperti kota bekas Ibu Kota kerajaan lainnya, yang kemudian menjadi kota mati atau merosot menjadi desa pertanian, setelah ditinggalkan oleh kerajaan yang berkuasa. Kotagede tetap bertahan sebagai kota. Keunikan Kotagede tidak hanya itu, pada zaman penjajahan Belanda, daerah ini tidak pernah menjadi Plandan, yaitu daerah jajahan yang digunakan untuk kepentingan V.O.C. terutama untuk menanam tanaman industri. Keunikan yang lain, hampir seluruh bangunan di Kotagede, dulunya merupakan bangunan tempat tinggal (rumah), dan hampir 98% penduduk Kotagede, adalah orang Jawa asli. Homogenitas ini hanya dapat disaingi oleh sebuah desa di Jawa Barat, desa Kedawung, yang penduduknya hampir 100% orang Sunda.
Wilayah penelitian meliputi bekas wilayah yang dikelilingi oleh Benteng Dalam (Cepuri) dari kerajaan Mataram Islam. Sebagian besar rumah yang ada di wilayah bekas Benteng dalam ini, merupakan rumah tradisional, yang termasuk kedalam wilayah tiga kalurahan yaitu, kalurahan Jagalan, Prenggan dan Purbayan. Rumah Tradisional Jawa tersebut, dibangun dengan dasar ide, gagasan atau pengetahuan orang Jawa, yang terangkum dalam kosmologi, klasifkasi simbolik dan pandcngan hidup masyarakat Jawa pada waktu itu. Sekarang, rumah tersebut dihuni oleh ahli warisnya, sebuah generasi yang kemungkinan besar memiliki nilai-nilai tradisi yang berbeda (sudah berubah). Perbedaan nilai-nilai kultural yang diyakini oleh penghuni yang berbeda generasi tersebut, menyebabkan terjadinya perbedaan persepsi dalam menggunakan ruang-ruang pada rumah tinggalnya. Perubahan pada rumah tinggal yang disebabkan oleh perbedaan nilai-nilai yang diyakini itulah, yang menjadi sasaran utama penelitian ini
Perbedaan itu teraga dengan terjadinya perubahan fisik bangunan, ruang atau elemen-elemennya. Perubahan fisik tersebut antara lain terjadi pada ruang-ruang tidur, senthong, pendopo, jogan dan juga pada ruang servis. Selain perubahan secara fisik, terjadi juga perubahan cara penghuni memanfaatkan atau memfungsikan elemen, ruang atau bangunan, yang ada pada rumah tinggalnya. Perubahan seperti ini terjadi pada senthong tengah, pringgitan, emper maupun pendopo. Dari perubahan-perubahan tersebut, kemudian ditelusuri hal-hal yang menyebabkan terjadinya perubahan, selanjutnya akan diinterpretasikan makna yang terjadi.
Temuan pada penelitian kali ini adalah, bahwa ruang-ruang yang mempunyal fungsi sangat ketat (fix), seperti senthong tengah dan pringgitan, hampir seluruhnya telah mengalami perubahan fungsi. Sementara itu, ruang-ruang dengan fungsi yang fleksibel (serbaguna), seperti gandok, masih tetap bertahan. Rumah Jawa yang tadinya merupakan bangunan dengan sekat yang tidak permanen, yang mudah dibongkar pasang, telah berubah menjadi bangunan yang bersekat permanen dan masif. Pintu-pintu butulan dan luberan yang berada pada pagar bumi, yang sebelumnya merupakan sarana yang membentuk jaringan kerukunan antar hunian, tidak pernah digunakan lagi. Hal tersebut mengindikasikan terjadinya perubahan sosial pada masyarakat Kota Gede, yang semula ikatan komunalnya sangat tinggi, saat ini berubah menjadi lebih individualis. Penyusunan, pembentukan dan penggunaan ruang-ruang dalam komplek rumah Jawa, dahulu dilandasi kepentingan religius magis dan nilai-nilai filosofis yang tinggi, sekarang yang melandasi perubahan susunan, bentuk dan fungsi ruang adalah nilai-nilai praktis dan pragmatis.
Luasnya komplek rumah Jawa, dengan begitu banyaknya ruang atau unit bangunan, telah menyulitkan penghuninya yang sekarang, untuk dapat memanfaatkan dan memeliharanya secara optimal. Terjadi kecenderungan pengalihan hak (dijual), pada kelompok bangunan bagian depan (pendopo dan halamannya), serta pada bangunan-bangunan servis. Hal ini mengindikasikan makna bahwa, pendopo yang paling terakhir dibangun dalam proses pendirian rumah Jawa, bukan merupakan bangunan inti dari rumah Jawa. Bangunan inti rumah Jawa adalah dalem dengan senthongnya.