Dengan penerapan sistem pemerintahan yang sangat sentralistik pada masa pemerintahan Orde Baru telah melahirkan ketidakadilan secara sosial, ekonomi, pemerintahan dan hukum di Daerah Istimewa Aceh yang menyebabkan timbulnya kekecewaan yang sangat mendalam ditengah masyarakat. Salah satu akibat yang ditimbulkannya adalah muncul berbagai tuntutan dan protes dari masyarakat baik( secara diplomasi maupun dengan perlawanan bersenjata yang apabila tidak direspon dengan arif dan bijaksana akan dapat mengancam keutuhan negara Republik Indonesia.
Di penghujung abad kedua puluh Indonesia dilanda oleh gelombang reformasi yang menuntut perubahan yang mendasar dalam berbagai bidang. Salah satu tuntutan yang bergulir adalah pemberian otonomi yang luas kepada daerah. Sehubungan dengan itu, untuk menyikapi tuntutan reformasi dan untuk meredam konflik di Aceh, MPR-RI telah membuat ketetapan No.IV/MPR-R1/1999 tentang pemberian Otonomi Khusus kepada Propinsi Daerah Istimewa Aceh yang diatur dengan Undang-Undang.
Untuk menindaklanjuti ketetapan MPR tersebut, DPR-RI bersama pemerintah telah membahas suatu Undang-Undang tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh yaitu UU No.18 tahun 2001.
Yang menarik untuk diteliti adalah bahwa sebagian besar materi yang dibahas dalam Undang-undang Otonomi khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh berasal dari DPRD, Pemerintah Daerah dan tokoh masyarakat Aceh, yaitu berasal dari bawah. Dan hal ini terjadi diluar kebiasaan dari DPR-RI dalam menetapkan suatu undang-undang.
Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan, sementara untuk menjelaskan pokok perrnasalahan dipergunakan teori konflik, teori konsensus, teori partisipasi dan teori demokrasi.
Dalam penelitian ini ditemukan terjadinya konflik kepentingan antara pemerintah dengan angota DPR-RI, khususnya anggota DPR-RI yang menjadi angota Pansus RUU NAD yang berasal dari daerah pemilihan Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Konflik terjadi dalam banyak masalah, namun yang paling menonjol adalah menyangkut penetapan persentase bagi hasil sumber daya alam minyak bumi dan gas alam antara pemerintah dengan Daerah Istimewa Aceh.