Sebuah kelompok yang mengidentifikasi dirinya sebagai partai politik berideologi Islam namun bergerak di luar sistem politik yang berlaku merupakan fenomena menarik untuk dieksplorasi. Orientasi politiknya yang lebih menekankan kesadaran masyarakat alih-alih pemenangan parlemen, pemikiran politiknya yang antidemokrasi, serta cita-citanya untuk menegakkan negara khilafah dan memberlakukan hukum Islam secara menyeluruh dan serentak sudah pasti menimbulkan keunikan tersendiri berkaitan dengan struktur dan kepemimpinan, fungsi politik, basis pendukung, ideologi, dan cara-cara dalam melakukan perubahan. Kelompok itu bernama Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui keberadaan HTI sebagai gerakan politik Islam ekstraparlementer dan cara-cara yang ia tempuh untuk mewujudkan cita-citanya. Teori dan konsep-konsep yang relevan dengan penelitian ini dirangkai ke dalam dua kerangka konsep. Teori utama yang digunakan untuk mengetahui profil HTI sebagai gerakan politik Islam ekstraparlementer adalah konsep Tony Fitzpatrick (1995) tentang oposisi ekstraparlementer dan konsep Philo C. Wasbum (1992) tentang aktivitas politik nonrutin. Teori penjelasnya adalah teori tentang partai politik dari Arnold K. Sherman & Aliza Kolker (1987), konsep gerakan sosial dari Charles L. Harper (1989), dan kerangka konsep Dwight B. Billings (1990) tentang oposisi berbasis agama. Adapun teori utama yang digunakan untuk mengetahui cara-cara yang ditempuh HTI adalah teori Charles Tilly (1978) tentang model mobilisasi dan kerangka konsep Mutafa Rejai (1977) tentang tipologi dan strategi revolusi. Sebagai teori pembanding, peneliti menggunakan teori tentang orientasi kebudayaan dalam transformasi sosial dan revolusi yang dipaparkan oleh S.N. Eisenstadt (1986).
Temuan-temuan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa HTI lebih merupakan organisasi gerakan alih-alih partai politik. Ciri ekstraparlementer dari gerakannya dapat dilihat dari curahan konsentrasinya pada pembinaan masyarakat dan penolakannya untuk terlibat dalam pemilu, dari mobilisasinya di seputar isu tunggal berupa kewajiban kaum muslim untuk mendirikan negara khilafah, dan dari pemaknaannya terhadap politik sebagai kultur tandingan, yakni sebagai aktivitas yang mulia dan wajib, sebagai lawan dari anggapan muslim kontemporer bahwa politik itu kotor dan, karenanya, patut dijauhi.
Aktivitas politik nonrutin dari organisasi ini sesungguhnya sangat rentan dengan tuduhan makar, subversi, atau kudeta. Namun, kepiawaiannya dalam mereduksi pandangan ideologis dan keagamaan dalam komunikasi politik membuat masyarakat dan negara tidak memberikan reaksi tajam terhadap ide penegakan negara khilafah yang diusungnya.
Kemampuan inilah yang tampaknya membedakan HTI dengan HT di negara-negara lain yang hampir seluruhnya rnendapat perlakukan represif dari negara.
Dari segi organisasi, HTI bisa dikatakan merupakan organisasi yang berkembang semakin solid. Sebagai kelompok revolusioner, ia merupakan organisasi politik, bukan paramiliter. Pembagian kerjanya tergolong rapi dan sentralitas kebijakan maupun kegiatannya tergolong sangat tinggi. Ia dikendalikan secara tertutup dan memiliki ruang perbedaan pendapat yang sempit. Dari segi mobilisasi, penguasaannya terhadap sumberdaya tergolong masih sangat lemah. Ia hanya memiliki sumberdaya normatif (berupa keanggotaan atau partisipasi aktif kader) dan utilitarian (iuran anggota, satu kantor sekretariat resmi, dan terbitan dengan oplah hanya belasan ribu hingga ratusan ribu). Ia sama sekali tidak memiliki sumberdaya koersif (persenjataan, angkatan perang, atau teknologi canggih). Dari segi cara mobilisasi yang diterapkan, HTI lebih banyak melakukan mobilisasi penyiapan (preparatory), di mana ia hanya berkonsentrasi pada pengerahan sumberdaya untuk mengantisipasi peluang dan ancaman di masa depan. Bentuk utama mobilisasi penyiapan yang dilakukan HTI adalah aktivitas penerbitan, kegiatan diskusi dan seminar, tablig akbar, silaturrahmi dan dialog dengan kelompok muslim lain, serta audiensi dengan pemerintah dan tokoh-tokoh politik.
Sebagai kelompok penentang, HTI tergolong sebagai kelompok fanatik (zealot) dalam hat ideologi, karena ia memberikan nilai sangat tinggi pada beberapa kebajikan kolektif yang oleh kelompok lain dianggap kurang bernilai (penegakan syariat, khilafah, dan kepentingan muslim). Ia juga sangat ketat dalam menetapkan cara untuk mencapai tujuan (sangat selektif dalam hal pendanaan, menolak terlibat dalam pemilu, dan menolak penerapan syariat secara bertahap). Namun, ia tergolong pelit (miser) dalam berkonflik dan, kadang-kadang, oportunis dalam berhadapan dengan penguasa bila kita bandingkan dengan kelompok Islam radikal lainnya seperti FPI, Majelis Mujahidin, dan Laskar Jihad.
HTI menginternasionalisasikan gerakannya lewat pengadaan forum-forum internasional, respons terhadap berbagai peristiwa internasionaI yang merugikan kaum muslim, dan koordinasi gerakan internasional dengan HT di negara lain. la terus mengembangkan gerakan massa secara perlahan-lahan dengan harapan suatu saat akan meledak menjadi pergolakan besar yang mengarah pada perubahan politik dan sosial yang berjangkauan luas.
Dalam konteks gerakan kebangkitan Islam, komitmen HTI pada aktivitas politik sebagai alasan keberadaan (raison d'etre)-nya sebenarnya merupakan fenomena menarik. Namun, konsentrasinya pada aktivitas politik semata tampaknya akan menimbun banyak kelemahan. Pengabaiannya terhadap bidang-bidang lain terutama pendidikan akan membuat ideologinya semakin runcing bagi ideologi lain, semakin rentan dalam benturan antarwacana dengan ideologi-ideologi lain yang terus mengalami reformulasi dan revitalisasi, dan semakin diragukan kemampuannya untuk menjadi ideologi negara karena tidak pernah bersinggungan secara aplikatif dengan dunia empiris.
Dari segi tujuan yang diusungnya, HTI sesungguhnya sangat rentan dengan tindakantindakan yang dinilai subversif. Namun, sekalipun ia membawa ancaman bagi kelangsungan sistem yang ada, pemerintah tidak perlu memberikan perlakuan represif kepada kelompok ini. Karena, selama kelompok ini konsisten pada garis gerakannya-nonkekerasan, memfokuskan diri pada pemikiran, serta melakukan kritik dan kontrol terhadap penguasa muslim-ia sesungguhnya merupakan bagian dari proses penguatan masyarakat sipil. Hal yang perlu dilakukan pemerintah untuk memanfaatkan keberadan kelompok ini adalah mencegah penyimpangan aktivitas politik nonrutinnya dari aturan main dan mengarahkannya pada kebersamaan dengan kelompok-kelompok lain guna mengikis eksklusivitas dan subjektivitasnya.