Kebebasan pers yang dialami masyarakat dan insan pers selepas masa otritarianisme, dalam pelaskanaannya menyisakan berbagai permasalahan. Media tidak bisa sepenuhnya memahami arti kebebasan, karena seringkali kebebasan itu diartikan sebagai tidak adanya kontrol yang bisa menahan laju berita media. Akibatnya, media bisa memberitakan apa saja dan seringkali meninggalkan kaidah jurnalistik sebagai pakem, menulis berita. Sebaliknya audiens, sebagai pembaca media, belum terbiasa dengan keterusterangan dan pengungkapan berita apa adanya, sehingga mengakibatkan berbagai keterkejutan yang merembet pada ketersinggungan dan akhimya terjadi konflik kekerasan dengan media. Diperlukan hubungan seimbang antara media dengan publik, agar terjadi saling kontrol.
Penelitian ini akan difokuskan untuk menjawab pertanyaan: (1) Bagaimana media mengkonstruksi realitas mengenai konstelasi politik dan pertentangan kepentingan antar interst group dalam masyarakat dan bagaimana publik mengkonsumsi berita tersebut? (2) Bagaimana organisasi pemberitaan media memanage produksi berita dan menempatkan kontrol publik dan tekanan eksternal lainnya dalam aktivitas manajemen media?
Ruang lingkup penelitian dibatasi pada aktivitas produksi berita yang dilakukan media dan aktivitas konsumsi berita yang dilakukan oleh publik sehingga memunculkan konflik akibat kesenjangan persepsi dan subyektifitas atas peristiwa. Aktivitas produksi berita yang dimaksud adalah sejauh mana media melakukan proses konstruksi realitas atas peristiwa dalam item berita yang disajikan dengan segala faktor internal newsroom dan ekstemal yang mempengaruhinya. Sedangkan aktivitas konsumsi berita dimaksudkan sejauh mana publik memahami dan memaknai berita media yang dikonsumsi dari media, serta respon yang muncul sehingga memunculkan konflik.
Sebagai fokus penelitian ini, kajian secara khusus akan menyelami peristiwa konflik antara masyarakat NU dengan harian Jawa Pos yang muncul ke permukaan yang dikenal dengan aksi 'Pendudukan' Barisan Ansor Serbaguna (Banser) atas Kantor Redaksi Harian Jawa Pos di Gedung Graha Pena, Surabaya pada tanggal 6 Mei 2000, yang berujung pada tidak terbitnya Jawa Pos edisi Minggu, 7 Mei 2000.
Untuk mencari jawaban, penelitian dilaksanakan dengan menggunakan paradigma kritis dengan metode penelitian kualitatif. Untuk bisa menggali, penelitian ini menggunakan analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis) dengan multi level analisis: analisis teks, analisis wacana dan analisis sosial budaya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam kasus ini, ditemukan beberapa poin dalam elemen struktur framing yang menjadi penyebab ketegangan Jawa Pos dengan pembaca, baik yang menyangkut teknis pemilihan dan penggunaan kata yang menyusun kalimat berita, tidak terpenuhinya prinsip dasar jurnalistik maupun dalam pemilihan tema framing sebagai alat mengkonstuksi peristiwa yang ternyata berbeda dengan sikap politik dan pandangan politik yang diyakini audiens. Khusus mengenai angle dan framing yang dipilih, merupakan keterkaitan langsung media atas kepentingan dan kehendak pasar yang menghendaki media kritis terhadap peristiwa yang sedang diangkat.
Di level praktik wacana, rutinitas Jawa Pos dalam memproduksi berita mengutamakan ada pada aktualitas dan kontroversi persitiwa dengan melakukan dramatisasi adanya konflik yang panas, ironis dan kontroversial. Ditemukan adanya praktek kekerasan informasi oleh media dan lebih dekat pada ciri Jurnalisme Perang (War Journalism) dari pada ciri yang Jurnalisme Damai (Peace Journalism). Di sisi lain, Jawa Pos pada dasarnya merupakan penganut jurnalisme yang membawa misi kemanusiaan, kebersamaan dan menjaga kedekatan dengan pembacanya. Dalam hal ini rutinitas Jawa Pos masuk dalam ciri-ciri Jurnalisme Empati atau yang oleh pihak Jawa Pos disebut sebagai Jumalisme Emosi. Betaberita Jawa Pos lebih kuat dipengaruhi oleh orientasi oplag atau orientasi pasar/kapital sebagai ideologi dari pada ideologi kelompok atau latar individu wartawan dan organisasi.
Di level konsumsi teks, ada upaya dari publik dalam hal ini Masyarakat NU untuk melakukan perimbangan berupa hegemoni tandingan (counter hegemony) terhadap hegemoni wacana yang dilakukan oleh media. Aktivitas kontra hegemoni ini dilakukan dengan cara memaknai peristiwa dan wacana politik secara langsung melalui komunikasi kultural baik yang sifatnya organisasional maupun melalui interpersonal. Hasil dan pemaknaan langsung ini berupa munculnya realitas subyeklif yang berbeda antara yang dikonstruksi media dengan yang dimaknai langsung oleh publik.
Perbedaan realitas subyektif ini menimbulkan adanya kesenjangan informasi dan menganggap media telah melakukan 'kesalahan', yang kemudian melahirkan prasangka, bahwa media telah memiliki agenda politik melalui potensi kekuatan hegemoni yang dimiliki. Prasangka itu menguat, ketika ditemukan faktor pendukung, sebagaimana kejadian serupa di masa lalu dan menjelma menjadi kesadaran untuk menghentikan praktek hegemoni ini dengan cara berdialog dan bernegosiasi untuk klanfikasi (pihak NU menyebutnya sebagai !obi atau Isiah). Publik enggan menggunakan mekanisme jumalistik penggunaan hak jawab karena dianggap tidak efektif untuk bisa mengembalikan citra negatif.
Kinerja profesional Jawa Pos terganggu dengan aktivitas negosiasi tersebut, karena mengganggu kerja rutin memproduksi berita. Keputusan 'sehari tidak terbit' yang diambil Jawa Pos merupakan klimaks dari terganggunya secara teknis dan psikologis proses produksi berita akibat komplain yang dilakukan oleh publik kepada redaksi. Jawa Pos sebagai industri media tidak banyak terpengaruh terhadap konflik dengan masyarakat NU ini, dan memutuskan untuk mengabulkan semua tuntutan yang diminta, meskipun lemah dalam pelaksanaannya. Jawa Pos hingga kini tetap sebagai industri media yang telah melakukan ekspansi usaha secara nasional di bidang penerbitan serta bidang lain, sebagaimana pabrik kertas dan real estate. Dalam mengembangkan industrinya, Jawa Pos lebih mementingkan aspek ekonomi dengan memberikan porsi yang besar bagi 'kemajuan' yang ingin dicapai bersama antara Jawa Pos sebagai industri dengan kekuatan kapital tidak hanya nasional, tetapi juga global.