Sajak-sajak Goenawan Mohamad adalah sajak-sajak yang memiliki pesona tersendiri di antara sajak-sajak sezamannya. Kehadiran sajak-sajak Goenawan Mohamad dalam dunia perpuisian Indonesia modern telah banyak mendapat sorotan, baik dari pemerhati sastra Indonesia di dalam negeri maupun dari luar negeri. Mereka itu, antara lain, H.B. Jassin (dalam Toda, 1984), Sapardi Djoko Damono (1973), M.S. Hutagalung (1976), Dami N. Toda (1984), Hoedi Soeyanto {1972), Linus Suryadi AG {1989), A. Teeuw (1980), Burton Raffel (1967), dan Harry Aveling {1974). Kajian mereka atas sajak-sajak Goenawan Mohamad pada umumnya bukan merupakan kajian yang khusus dan terpumpun, kecuali kajian yang telah dilakukan oleh Dami N. Toda (1984). Kajian mereka dapat dikatakan hampir sampai pada penilaian bahwa sajak-sajak Goenawan Mohamad memiliki keunikan dan daya pesona yang khusus.
Jassin lebih jauh menyatakan bahwa sajak-sajak Goenawan Mohamad memberi kesan suasana tanpa kita bisa mengatakan gagasan apa yang mau dikemukakan. Dalam anggapan Jassin, Goenawan Mohamad hendak menampilkan saat-saat suasana yang di dalamnya kesadaran bersatu dengan keadaan dan sebaliknya (dalam Toda, 1984: 10). Apa yang dikemukakan Jassin itu dapat disandingkan dengan kesan Sapardi Djoko Damono yang dimuat dalam sampul belakang buku kumpulan sajak Interlude sebagai berikut. "Goenawan telah berhasil menciptakan peristiwa-peristiwa yang menjadikan kenang-kenangan bisa berkomunikasi. Kenang-kenangan itu cenderung menyusun gumam, semacam percakapan, barangkali pertengkaran". Gumam yang terungkap dalam sajak-sajak Goenawan Mohamad selalu menampilkan suasana hati tertentu. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan kalau Jassin, lebih lanjut, menyebut sajak-sajak Goenawan Mohamad sebagai sajak suasana. Di dalamnya pembaca tidak berurusan dengan pikiran, tetapi dengan rasa, dengan suasana hati itu.
Hampir senada dengan Jassin, Hutagalung (1976: 44) menyebut sajak-sajak Goenawan Mohamad membangun imaji tertentu yang menyebabkan timbulnya perasaan-perasaan murung, suram berkabut. Sajak-sajak Goenawan Mohamad dalam pandangan Hutagalung membuat pembaca lebih terpesona daripada berpikir. Kita tidak dirangsang berpikir tetapi diajak untuk merasakan suasana itu.