Paul Allen Beck, mengemukakan bahwa penelitian sosialisasi politik dapat digolongkan dalam dua perspektif umum. Pertama, disebut perspektif pengajaran (the teaching perspective) yang menggambarkan sosialisasi politik sebagai proses melalui mana orientasi-orientasi politik diajarkan. Kedua, perspektif belajar (the learning perspective) yang menekankan pada aktivitas individu untuk belajar sendiri. Pengaruh perspektif pengajaran menjadi dominan setelah munculnya salah satu topik utama dalam penelitian sosialisasi politik yaitu peranan agen-agen sosialisasi politik.
Perhatian para ilmuan terhadap topik tersebut di atas dapat dilihat dalam beberapa tulisan. Tulisan Hyman Greenstein, Hess dan Torney, yang membatasi telaahnya pada penelitian empiris dan berusaha menggambarkan pengaruh masing-masing agen sosialisasi politik terhadap 2 pandangan politik individu. Di Indonesia studi sosialisasi politik telah dilakukan oleh para sarjana seperti Win Gandasari Abdullah, Stephen Arneal Douglas, yang lingkup studinya pada tingkat nasional. Sedangkan pada tingkat lokal (pedesaan), studi ini masih jarang dijumpai.
Khusus di Sulawesi Selatan studi sosialisasi politik pada masyarakat pedesaan dapat dikatakan belum ada. Walaupun ada tulisan mengenai sosialisasi politik, tetapi tidaklah merupakan perhatian utama. Fakta ini mendorong penulis untuk melakukan studi sosialisasi politik agar dapat dipahami agen-agen sosialisasi politik yang mana berperanan dalam meningkatkan pengetahuan politik masyarakat mengenai sistem politik yang dikembangkan oleh pemerintah Republik Indonesia, yaitu sistem demokrasi.
Pada dasarnya sistem politik demokrasi menghendaki adanya keseimbangan yang wajar antara hak dan kewajiban politik anggota masyarakat. Di dalam sistem teori, hak dan kewajiban politik melekat pada "komponen input" dalam sistem politik. Hak politik berkaitan dengan tuntutan-tuntutan terhadap sistem politik. Sedangkan kewajiban politik berhubungan dengan dukungan-dukungan yang diberikan kepada sistem politik. Dengan demikian dapat dipahami bahwa di dalam sistem pengambilan keputusan yang demokratis, setiap anggota masyarakat di samping mempunyai hak politik untuk melakukan tuntutan, juga memikul kewajiban politik untuk mendukung sistem politik yang berlaku.
Meskipun demikian, dalam perkembangan sistem politik di Indonesia sering ditemui munculnya tuntutan-tuntutan yang berbeda-beda yang cenderung menimbulkan konflik dalam masyarakat. Hal ini dapat diamati pada masa Demokrasi Parlementer (1945-1959) dan Demokrasi Terpimpin (1959-1965). Pada periode pertama, muncul tuntutan-tuntutan masyarakat yang sangat besar jumlahnya, sementara kapasitas sistem politik belum mampu memenuhi semua tuntutan-tuntutan itu. Pemerintah belum mampu memanfaatkan kekayaan alam untuk melaksanakan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Juga partai-partai politik yang beroposisi sering melancarkan mosi tidak percaya kepada partai politik yang berkuasa, sehingga sering terjadi pergantian kabinet sebelum masa pemerintahannya berakhir. Keadaan ini menunjukkan lemahnya dukungan masyarakat terhadap sistem politiknya.