Keberadaan manusia di alam, baik segi fisik maupun mentalnya, memiliki potensi sebagai penyebab perubahan lingkungan. Perilaku manusia, yang berdampak pada perubahan-perubahan lingkungan, sangat ditentukan oleh kondisi mental, yakni etika lingkungan.
Menurut Alois A Nugroho, dasar-dasar pertimbangan untuk etika lingkungan ada lima kategori, yaitu : (1) egoisme etis, (2) humanisme, (3) vitalisme, (4) altruisme planeter subtipe tak holistik, dan (6) altuistue planeter subtipe holistik. Lima kategori ini merupakan etika yang berjenjang, karena dari satu etika ke etika yang lain merupakan perluasan-perluasannya. Selanjutnya, lima kategori yang merupakan dasar pertimbangan untuk etika lingkungan itu dalam tesis ini diangkat sebagai tipe etika lingkungan.
Pembentukan etika lingkungan pada diri orang per orang dapat didekati dari pendekatan ekologik dan teologik. Peranan pendekatan ekologik adalah memberikan pengetahuan tentang konsep, teori, prinsip, dan hukum-hukum ekologi (kognitif) yang kemudian diharapkan mampu diinternalisasi sampai kepada tingkat kesadaran lingkungan, sehingga mampu pula membawa ke arah pembentukan nilai-nilai dan etika lingkungan (afektif). Sedangkan pendekatan teologik lebih menekankan kepada tanggung jawab manusia terhadap alam, sebagai yang diajarkan oleh kitab suci setiap agama, karena konsep etika juga menyangkut tentang tanggung jawab.
Isu tentang kerusakan lingkungan telah menjadi salah satu kekhawatiran yang muncul sebagai dampak negatip dalam.rangka pembangunan dan modernisasi masyarakat, dan negara kita adalah salah satu di antara negara yang tengah giat melaksanakan pembangunan dan modernisasi itu. Sementara itu Mahasiswa merupakan calon-calon pemimpin masyarakat yang di kemudian hari, pada masa mereka menduduki jabatan tertentu di masyarakat, kondisi mentalnya yang berupa etika lingkungan merupakan salah satu bekal yang amat penting dalam menentukan peranan manusia/masyarakat terhadap lingkungannya. Oleh sebab itu, sebagai pemimpin masyarakat nanti, mulai sekarang mahasiswa harus dibekali dengan etika lingkungan yang luhur, agar setiap keputusan dan parilakunya, baik yang menyangkut diri sendiri maupun koinunitasnya di dalam proses pembangunan, selalu mengacu kepada keseimbangan ekosistem/lingkungan.
Yogyakarta sebagai kota pendidikan, yang telah terkenal sejak lama, memiliki daya tarik bagi lulusan SMTA dari sekitarnya dan bahkan dari seluruh penjuru Indonesia, untuk memperoleh pendidikan tinggi pada PTN maupun PTS di kota ini. Setelah menyelesaikan studinya mereka akan kembali ke daerah asal ataupun menyebar ke daerah lain.
Karena itu, dengan mengetahui tipe etika lingkungan mahasiswa Yogyakarta merupakan hal yang penting dalam pembinaan generasi muda pada umumnya dan mahasiswa pada khususnya.
Untuk mengetahui tipe etika lingkungan mahasiswa Yogyakarta dilakukan penelitian terhadap mahasiswa Yogyakarta yang menempuh pendidikannya pada PTN dan PTS yang berdomisili di Daerah Istimewa Yogyakarta. Tipe etika lingkungan dalam penelitian ini diungkap melalui gagasan sikap atau perilaku yang akan diambil atau dilakukan oleh responden jika seandainya menghadapi persoalan lingkungan, sehingga lebih tepat bila dinyatakan sebagai ide tentang etika mengenai lingkungan. Dengan dipandu oleh kajian pustaka bahwa psmbentukan etika lingkungan dapat didekati dari pendekatan ekologi dan teologi, maka diduga bahwa ketaatan terhadap agama yang dianut oleh mahasiswa dan keterlibatan dalam organisasi pecinta alam (OPA) akan memberikan warna pada etika lingkungan yang dimilikinya. Karena itu, ketaatan beragama dan keterlibatan dalam kegiatan OPA didudukkan sebagai variabel bebas, sedangkan ide tentang etika mengenai lingkungan merupakan variabel tergantung.
Pengambilan data penelitian dilakukan dengan teknik wawancara terhadap sampel sebanyak 300 orang mahasiswa yang ditetapkan dengan teknik kuota. Pengambilan sampel dengan teknik kuota ini semata-mata hanya didasarkan kepada keterbatasan biaya penelitian yang pengambilan datanya dengan teknik wawancara. Hasil penelitian yang dianalisis dengan deskriptif dan chi-kuadrat sampel tak berpasangan, menunjukkan bahwa: (1) ide tentang etika mengenai lingkungan mahasiswa Yogyakarta cenderung bertipe etika vitalisme, (2) ada kecenderungan ide tentang etika mengenai lingkungan ke arah tipe etika yang lebih rendah untuk masalah lingkungan yang menyangkut langsung kehidupan sehari-hari, (3) ide tentang etika mengenai lingkungan mempunyai ketergantungan dengan tingkat ketaatan beragama, dan (4) ide tentang etika mengenai lingkungan tidak mempunyai ketergantungan dengan tingkat keterlibatan dalam OPA.
Pembahasan hasil penelitian, dengan menghubungkan dengan berbagai pendapat/teori, menyatakan bahwa ide tentang etika mengenai lingkungan mahasiswa Yogyakarta masih diwarnai oleh pengetahuan yang bersifat umum yang sering diekspose dalam media massa, Di samping itu, dalam hubungan dengan ketaatan beragama, dapat ditafsirkan bahwa penghayatan agama telah mampu memberikan sumbangan dalam pembentukan etika lingkungan: sedangkan jika dihubungkan dengan keterlibatan pada OPA, kegiatannya belum mampu memberikan sumbangan pada pembentukan etika lingkungan. Kegiatan OPA mahasiswa masih banyak diwarnai oleh Kode Etik Pecinta Alam Indonesia yang butir-butirnya masih menunjukkan kecenderungan pada pandangan antroposentrik. Oleh sebab itu, disarankan perlu dilakukan peninjauan kembali terhadap kode etik tersebut untuk perumusan kembali dengan menyesuaikan kepada konsepkonsep baru ilmu lingkungan.
Human potentialities, both seen from the physical and the mental aspects, determine environmental changes. Human behavior toward nature, which affects environmental changes, depends on their mental condition that is their environmental ethics.
Alois A. Nugroho stated that the basis of environmental ethics can be classified in to five categories, i.e.: (1) Egoism Ethics, (2) Humanism, (3) Vitalism, (4) Planetary Altruism subtype Non-holistic, and (5) Planetary Altruism subtype Holistic. The five categories are structurally hierarchical, because the upper level categories are improving continuously from the lower levels. In this research, the five categories which is considered as the environmental ethics are being adopted as types of environmental ethics.
The formation of individual environmental ethics in man can be seen from two kinds of approach, e.g. ecological approach and theological approach. The goals of ecological approach are to give the knowledge, as well as concepts, theories, principles, and laws of ecology and environmental sciences. By way of internalization, hopefully, the knowledge will motivate the development of environmental awareness. Since ethics always related to responsibility, theological approach can be used to develop ethics, because many religions, through the Holy Scriptures such as Koran and Bible, emphasize on the responsibility of man to the nature.
Nowadays, issues of environment deterioration have been taking place seriously. We are concerned about environmental deterioration more seriously in the development and modernization processes of the nation. Whereas the youth, especially students of tertiary education will be leaders of their society in the future. Indonesian leaders have important role in social changes of their society. They are social and innovation agents as much as motivators of the social changes. Therefore, as social agents or leaders in the future, students of tertiary education must be provided with environmental ethics from now on, in order to be able to exercise right justification for themselves, or their community and to maintain the stability of their ecosystem and environment.
Yogyakarta has been famous as students city. It attracts not only youths graduated from SMTA (Senior High School) from the nearly districts or cities, but also other regions of Indonesia. They come to Yogyakarta in order to continue their studies at the State-owned or Private Universities. After graduating from the tertiary education, most of them will go back to their homesteads or scattered in other regions of Indonesia. With regard to that, introduction of environment ethics as earlier as possible and continuously, seems very important.
The objective of this research is to identify the types of environment ethics of students in several State-owned and Private Universities in the Daerah Istimewa Yogyakarta. The types of environmental ethics in this research will be represented by conceptual attitude or behavior of the students in facing environmental problems, which in this case are identical to their environmental ethics. According to several theories, ecological and theological approach can be used as tools to develop environmental ethics; it is estimated that the degree of environmental ethics of the students is in line with their religiousness, activities or involvement in the Organisasi Pecinta Alam (OPA = Nature Lovers organization). Hence, both the degree of religiousness and the involvement in the OPA are regarded as independent variables in this research, and the ideas on environmental ethics as dependent variable.
Data of this research were collected from 300 respondents by way of interviews, using quota sampling technique. method of sampling were adopted due to lack of financial support. Descriptive analysis has been carried out based on statistical chi-suare contingency tables, indicating that: (1) ideas of environmental ethics of the students in Yogyakarta tend to vitalism ethics, (2) there are tendencies that the level of the students, ideas of environmental ethics tend to become lower in the daily life affairs, (3) there's dependency between the degree of religiousness and the ideas of environmental ethics, and (4) there's no dependency between the degree of students involving in OPA and the ideas of environmental ethics.
Evaluation of data based on existing knowledge and theories indicates that the ideas of environmental ethics were determined by popular knowledge, which is commonly exposed in mass-medias. While it is true that there is dependency between the degree of religiousness and their ideas of environmental ethics, it does not represent the degree of involvement in the OPA. It seems that the activities of OPA refer to the Ethic Codes of the national OPA, which is mainly dominated by anthropocentric ethics or ideas.
Therefore, I propose to re-examine these ethics codes in terms of their reformulation or adaptation to the latest concepts in environmental science.