Dalam penelitian ini, peneliti membahas opini Tajuk Rencana Kompas tentang Aceh sejak penandatanganan COHA sampai dengan sehari sebelum pemberlakuan Darurat Milker dan Operasi Militer di Aceh. Peneliti juga membahas faktor-faktor yang mendorong kemunculan opini tersebut, dengan memfokuskan diri pada ideologi yang mengorganisir dan mempengaruhi opini itu beserta dengan relasi kuasa dan dominasi,di seputar konflik Aceh, yang menjadi bagian dari konteks opini tersebut. Untuk membahas hal-hal di atas, peneliti menggunakan kerangka teori dan metode analisa wacana kritis (critical discourse analysis), terutama yang dirumuskan oleh Noman Fairclough dan Teun A. van Dijk.
Adapun Tajuk Rencana Kompas tentang persoalan Aceh sejak penandatanganan COHA sampai dengan sehari sebelum pemberlakuan Darurat Militer dan Operasi Militer di Aceh, yaitu tanggal 18 Mei 2003, berisikan opini-opini sebagai berikut: (1) cenderung melegitimasi serta mendukung COHA dan solusi damai; (2) cenderung bersikap ambivalen terhadap penggunaan kekuatan mlliter dan operasi militer di Aceh; (3) cenderung mendukung internasionalisasi persoalan Aceh dan pihak intetnasional atau perannya dalam persoalan Aceh; (4) cenderung mendelegitimasi gerakan kemerdekaan di Aceh dan GAM; (5) cenderung melegitimasi TNI dan Polri; (6) cenderung mengkritik serta mendelegitimasi pemerintah, elite bangsa dan bangsa Indonesia, dan (7) cenderung melegitimasi dan mendukung partisipasi masyarakat dalam persoalan Aceh.
Kemunculan berbagai opini tersebut dapat dikatakan didorong oleh ideologi nasionalisme, yang terlihat dominan mengorganisir dan mempengaruhi berbagai opini tersebut. Adapun ideologi nasionalisme mengorganisir dan mempengaruhi berbagai opini tersebut melalui beberapa cara, seperti melalui gagasan 'keutuhan wilayah (Indonesia)' -- yang mencakup pula gagasan untuk 'mempertahankan keutuhan (wilayah) Indonesia'--, gagasan 'kemandirian' dan polarisasi antara TNI dan GAM, di mana GAM, yang memperjuangkan 'Aceh merdeka,' dianggap sebagai 'mereka/musuh,' sementara TNI, yang menghadapi GAM,. dianggap sebagai 'kami/sekutu.'
Selanjutnya, kemunculan ideologi nasionalisme dalarn konteks persoalan Aceh didorong oleh konflik Aceh yang dinkibatkan oleh relasi kuasa dan dorninasi dalam persoalan Aceh. Salah satu relasi kuasa dan dorninasi tersebut berada di wilayah ekonomi. Relasi kuasa itu termanifestasikan dalam kesenjangan yang ada antara Produksi Domestik Regional Bruto (PDRB) Aceh dengan tingkat konsumsi masyarakat dan pemerintah daerahnya, yang memiliki arti bahwa apa yang dihasilkan di Aceh tidaklah dinikmati secara maksimal oleh masyarakat Aceh, baik secara langsung melalui pendapatan yang akan berimplikasi pada konsumsi, ataupun secara tidak langsung melalui pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah Aceh. Adapun relasi dominasinya termanifestasikan dalam kerugian yang relatif dialami oleh masyarakat Aceh-seperti yang ditunjukkan oleh beberapa indikator kesejahteraan masyarakat Aceh, seperti sumber peerangan dan pendidikan-sebagai akibat dari relasi kuasa di atas.
Relasi kuasa dan dorninasi di atas setidaknya disebabkan oleh dua faktor. Yang pertama adalah kebijakan keuangan Ode Baru yang sangat tersentralisir, di mana pada masa Orde Baru, pendapatan daerah dikonsolidasikan dan tergantung sepenuhnya pada pemerintah pusat. Yang kedua adalah penyerapan surplus melalui ekspor, mengingat penggunaan yang paling besar dari PDRB Aceh adalah ekspor. Di sini diasumsikan bahwa ekspor itu sebenamya bukan 'milik masyarakat/publik ,' melainkan merupakan surplus atau keuntungan untuk para eksportir. Adapun di Aceh, sebagian besar ekspor Aceh terdiri dari gas alam cair (LNG) dan produk migas lainnya. Di sini kita temui perusahaan perusahaan yang mengeruk keuntungan dari ekspor migas di Aceh, seperti Exxon Mobil, PT Arun, Jilco dan Pertamina-yang terakhir ini juga menjadi penyalur keuntungan untuk pemerintah pusat.