Permasalahan Undang-undang Otonomi Khusus di Nanggroe Aceh Darusalam merupakan suatu permasalahan rumit, dilematis dan bahkan dapat menimbulkan pemasalahan lainnya, terutama yang menyangkut dengan proses pembuatan qanun dan juga realisasi dari qanun itu sendiri. Upaya sosialisasi dan implementasi sudah dilakukan namun sampai saat ini masih belum berjalan sebagaimana yang diharapkan, sehingga masih saja terjadi perdebatan dikalangan masyarakat termasuk eksekutif dan legeslatif. Disamping itu juga ada beberapa permasalahan dan pasal-pasal dalam UU No. 18/2001 yang diangap masih kontradiksi dengan UU No 22/1999. terutama yang menyangkut dengan pembagian kewenangan antara Bupati dan Gubernur dimana UU No. 22/1999 Otonomi terletak pada daerah tingkat II sedangkan dalam UU No.18/2001 Otonomi terletak pada daerah tingkat I yaitu Provinsi, semua permasalahan tersebut telah menimbulkan konflik pada tingkat wacana dan juga realisasi dari UU No.18/2001 sehingga tingkat efektifitas Undang Otonomi Khusus di Nanggroe Aceh Darussalam belum berjalan sebagaimana yang diharapkan.
Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif, dengan menggunakan data primer dan juga data skunder, jadi analisis yang dilakukan adalah analisis kepustakaan dan juga analisis lapangan dimana data yang diperoleh dan pengamatan langsung dan juga informasi dan beberapa informan akan dapat memperkuat penelitian ini untuk mengkaji kondisi ril yang terjadi di anggroe Aceh Darussalam dalam status otonomi Khsus.
Berkenaan dengan berbagai kemungkinan perubahan dan reaksi yang terjadi pada kehidupan sosial masyarakat dan juga struktur masyarakat, dan sejauhmana tingkat partisipasi dan kemampuan masyarakat lokal, dalam hal ini penulis menggunakan teori fungsionalisme Talcott Parson dan Robert K.Merton. namun penulis melihat teorinya Robert k.Merton lebih cocok untuk kasus Aceh karena asumsi dasar dan teorinya menyatakan masyarakat terdiri dari sejumlah komponen struktural yang membentuk satu kesatuan yang sating berhubungan dan ketergantungan, dimana masing-masing komponen ada yang berfungsi dan ada yang disfungsi kondisi ini sesuai dengan realita yang terjadi di Aceh, dimana beberapa elemen masyarakat tidak berfungsi dalam memberikan kontribusi dan solidaritasm dalam sistem perjalanan Otonomi Khusus.
Dari hasil penelitian yang penulis lakukan masih terdapat banyak kekurangan dalam pelaksanaan Otonomi Khusus baik dalam bentuk kebijakan hukum maupun realita dilapangan, sehingga hal tersebut telah membuat Otonomi Khusus belum dapat berjalan efektif sebagaimana yang diharapkan.
Penulis menganggap penelitian ini mempunyai signifikansi tersendiri yaitu dapat membuat sebuah perbandingan antara teori dan realita empirik yang terjadi serta menemuka berbagai macam titik lemah dari.pemberlakuan UU No.18/2001.
Dari hasil pengamatan dilapangan dan juga informasi dari informan penulis menemukan beberapa persoalan yang kiranya menjadi penghambat terhadap pelaksanaan otonomi Khusus secara maksimal. pertama, adanya ketimpangan dan benturan kebijakan antara UU no.18/2001 dengan UU no.22/1999. terutama yang menyangkut kewenangan antara Bupati dan Gubernur. Kedua, terlambatnya proses pembuatan qanun, sehingga kebijakan yang digunakan cendrung mengunakan kebijakan yang lama. Ketiga, tidak adanya keterlibatan unsur masyarakat dalam menentukan kebijakan qanun yang akan dilahirkan sehingga qanun yang dihasilkan belum mampu menjawab kebutuhan dasar masyarakat. Keempat, masih adanya perdebatan terhadap pemberlakuan Syriat Islam yaitu terhadap & Brad yang digunakan. Kelima, tidak adanya ketentuan yang tegas dalam undang-undang Otonomi Khusus bahwa untuk Aceh hanya diberlakukan UU No.1812001. keenam, terlambatnya sosialisasi terhadap qanun-qanun yang telah dihasilkan khususnya menyangkut qanun Syari'at Islam dan Mahkamah Syari'ah
Dari berbagai persoalan diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa masih dibutuhkan revisi secara lebih konprehensif terhadap UU No.18/2001 sehingga tidak ada aturan lain yang menghambat pemberlakuan Undang-undang Otonomi Khusus secara komplit yang dihasilkan melalui qanun, kemudian dengan berbagai macam persoalan dan kelemahan yang penulis kemukakan diatas telah membuat UU No.18/2001 belum bisa berjalan secara maksimal dan efektif, untuk ini dibutuhkan keterpaduan dan kerjasama seluruh elemen masyarakat dalam memberikan kontribusi terhadap penyelenggaraan Otonomi Khusus masyarakat Aceh.