Kajian tentang pengaruh intrusi sebuah teknologi terhadap masyarakat merupakan topik menarik bagi penulis. Intemet, meskipun masih merupakan hal yang refatif baru, kehadiran dan pertumbuhannya telah menjadi salah satu fenomena sosial yang paling menarik sejak akhir abad ke-20.
Secara teoretis, ketika suatu teknologi berinteraksi dengan masyarakat, ia akan mengalami, apa yang disebut oleh Bijker dalam konsep Social Construction of Technology/ScoT-nya, appropriation (penyesuaian). Intrusi sebuah teknologi pada perkembangannya tidak dapat berkembang begitu saja tanpa melibatkan sistem sosial yang ada.
Internet yang pada awalnya merupakan produk yang dihasilkan untuk dan dari dunia pendidikan, penelitian, dan militer, ketika disebarluaskan di berbagai negara, antara lain tentu saja Indonesia, karena perbedaan sistem sosial dan budaya tersebut, dapat saja dimaknai berbeda.
Karena sifatnya yang sangat terbuka dan bisa diakses oleh siapa saja, banyak yang optimis bahwa Internet akan meratakan jalan menuju demokratisasi pengetahuan. Tetapi faktanya tidak demikian. Pada bangsa ini, Internet justru telah menciptakan jurang pemisah baru, yakni apa yang disebut sebagai digital divide (kesenjangan digital).
Masih kuatnya tradisi lisan (Yasraf Amir Piliang berspekulasi bahwa itu merupakan habitus bangsa kita), budaya masyarakat yang masih tebih suka menjadikan teknologi sebagai gaya hidup; simbol status, menjadi tesis awal ini, disamping seringnya penulis menjumpai orang ber-chatting di warnet warnet. Hal itu menjadi Masan mengapa chatting menjadi fokus dalam diskusi tentang kesenjangan digital ini.
Ketika kesenjangan digital tidak sekedar merupakan persoalan infrastruktur, artinya hanya melulu berbicara tentang angka-angka atau seberapa banyak orang yang dapat terakses ke internet, tetapi juga problem sejauh mana optimalisasi pemanfaatannya, bagaimana dimensi kognitif dan emosional mendorong orang memilih media itu untuk meningkatkan kualitas hidupnya, memposisikan aktivitas chatting dengan tujuan have fun, sebagai persoalan kesenjangan digital pada level budaya.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Pengambilan data banyak dilakukan melalui teknik studi kepustakaan (balk melalui perpustakaan di kehidupan sehari-hari, dan tidak sedikit yang melalui browshing di Internet) yang cukup panjang. Juga dilakukan wawancara mendalam (in-depth interview) dengan para chatter dan praktisi Internet: pemerhati chatting dan digital divide, disamping terlibat langsung melakukan aktivitas chatting, walaupun tebih sering menjadi observer.
Penulis melakukan pengamatan tentang bagaimana Internet secara sosial dan budaya mengubah kehidupan masyarakat kita. Sejauh mana kesenjangan digital terjadi. Mengenal chatting, dicoba diteliti mengenai tawaran 'kehidupan' seperti apa yang difasilitasi oleh fitur itu.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kesenjangan digital di Indonesia terjadi pada tiga level sekaligus. Pertama, infrastruktur (terkait dengan masalah ekonomi, tentang banyak sedikitnya orang yang dapat terakses ke internet), sosial (berhubungan dengan nilai tambah internet: e-education, e-govemment, e-commerce, dsb.), dan budaya (terkait dengan dimensi kognitif dan emosional pengguna internet untuk meningkatkan kualitas hidup mereka).
Melalui analisis mikroskopik chatting, karena faktor struktural dan individual , melalui tawaran budaya baru yang dihasilkannya, ia berpotensi untuk menjadikan penggunanya, pada level budaya, termasuk ke-dalam kelompok yang mengalami kesenjangan digital.